www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-11-2019

Pancasila ada atau tidak? Paling tidak ini yang ingin dilontarkan oleh Sudjiwo Tedjo dalam ILC TVOne baru-baru ini. Atau mungkin untuk mendekati itu kita bisa bertanya, warna hijau itu ada atau tidak? Kita bisa membeli cat warna hijau, baju warna hijau, tetapi di mana kita bisa membeli warna hijau? Padahal di toko cat itu tergantung ‘sila-sila’ soal warna hijau, dibingkai lagi. Warna hijau: (1) adalah yang mempunyai panjang gelombang x, (2) jika dicampur dengan warna A akan menjadi B, dan seterusnya.

Dalam analisis fenomenologis, paling tidak dikenal adanya tiga struktur, yaitu terkait dengan struktur dari parts and wholes, identity in a manifold, dan presence and absence. Wholes dapat dianalisis melalui dua parts yang berbeda, yaitu pieces dan moments. Pieces adalah bagian dari wholes yang dapat ‘berdiri sendiri’ terpisah dari wholes-nya. Pieces ini dapat disebut juga sebagai independent parts. Daun misalnya, yang bisa dipisahkan dari pohonnya tetapi tetap masih bisa kita hayati secara terpisah. Sedangkan moments adalah parts yang tidak bisa dipisahkan dari wholes-nya, maka mereka juga disebut sebagai nonindependent parts. Contoh seperti sudah disebut di atas, warna hijau. Warna hijau itu hanya bisa kita hayati jika ia tidak terlepas dari misalnya, kayu yang dicat warna hijau, baju, dan lain-lain.

Pada titik inilah kita bisa masuk pada pembicaraan sesuai judul, Pancasila ada atau tidak?

Sebelum kita masuk lebih dalam perlu diingat bahwa adanya sila-sila Pancasila itu karena muncul pertanyaan dalam sidang BPUPKI, soal atas dasar apakah negara ini akan diselenggarakan? Coba bayangkan jika pertanyaannya adalah, atas dasar apakah nantinya orang-per-orang akan berperilaku? Terlalu luas nantinya dan pasti tidak akan ketemu satu-pun kesepakatan bersama. Ada agama, ada adat-istiadat, sopan-santun, pepatah-petitih, cerita-cerita rakyat, mitos, dan bermacam lagi yang akan mempengaruhi perilaku orang-per-orangnya. Maka adalah benar pertanyaan dalam sidang BPUPKI itu, soal negara. Maka ada yang disepakati, ada yang tidak usah memerlukan kesepakatan. Dari bermacam pendapat maka disepakati-lah sila-sila yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4 bagian akhir itu, bagaimana negara harus berperilaku. Dalam hal ini sudah juga ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, negara yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia.

Maka pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa menghayati adanya Pancasila itu? Dari hal-hal di atas, tentu bukan melalui sila-sila yang dipigura dan ada di dinding, tetapi ia akan bisa dirasakan dari perilaku penyelenggara negara, melalui kebijakan-kebijakannya dan tindakan-tindakannya. Laksana sebuah warna yang bisa kita hayati ketika ada di kayu, baju, lukisan, Pancasila dengan horison historisnya hanya bisa kita hayati, sekali lagi, dari perilaku penyelenggara negara. Maka semakin jelaslah bahwa Pancasila dalam dirinya itu sebenarnya menolak adanya tafsir tunggal. Khalayak bisa mempertanyakan perilaku negara dalam konteks Pancasila juga, mengapa anda membuat kebijakan ona dan bertindak anu misalnya.

Misalnya ketika situasi serba sulit, mengapa justru menggunakan sumber daya yang serba terbatas itu untuk ugal-ugalan, aéng-aéng pindah ibukota? Atau borosnya terkait ugal-ugalan dalam ‘mengkreasi’ bermacam jabatan demi ‘politik balas budi’ itu? Atau ketika beratus petugas pemilu yang meregang nyawa dan nampak tidak ada upaya maksimal menguaknya. Ketika perilaku pengelenggara negara itu semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila, maka sangat sah seperti ungkapan Sudjiwo Tedjo dalam ILC TVOne lalu, Pancasila itu ada atau tidak?

Sebagai nonindependent parts, sebagai moments, Pancasila masih bisa dibicarakan, dibahas pada dirinya sendiri. “A whole can be called a concretum, something that can exist and present itself and be experienced as a concrete individual. A piece, an independent part, is a part that can itself become a concretum. Moments, however, cannot become concreta,”[1] demikian Sokolowski dalam Introduction to Phenomenology. Maka ketika Pancasila dibahas pada dirinya sendiri, kita bicara secara abstrak. “When we consider moments simply by themselves, the are abstracta, they are being thought of abstractly,”[2] sambung Sokolowski. Dan itu dimungkinkan karena kita berbahasa. Bahayanya, ketika sebenarnya bicara soal hal abstrak, kita terjerumus, atau dijerumuskan, atau menjerumuskan diri seakan-akan itu hal yang konkret, concretum. Dan mungkin juga dari situ pula kita bisa mulai bicara soal pandangan Marx terkait ideologi sebagai ‘camera obscura’ itu. *** (08-11-2019)

 

[1] Robert Sokolowski, Introduction to Phenomenology, Cambridge University Press, 2000, hlm. 24

[2] Ibid

Pancasila Ada atau Tidak?

gallery/pinokio2