www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

31-10-2019

No matter how many parties run against one another in elections, and no matter who gets the most votes, a single party always wins. It is the Invisible Party of bureaucracy,” demikian Alvin Toffler dalam Powershift.[1] Dari pendapat Toffler ini saja kita bisa membayangkan bagaimana susahnya apa yang sering disebut selama ini sebagai reformasi birokrasi itu. Fakta bahwa dengan meningkatkan penghasilan belumlah cukup, bisa kita lihat apa yang terjadi selama ini. Dari tripartit-jiwa-nya Platon kita bisa membedah ini.

 

 

 

 

Tentu gejolak ‘kuda hitam’ dalam diri perlu ‘dipuaskan’, dan itulah fungsi dari ditingkatkannya penghasilan. Nafsu-nafsu perut ke bawah terutama soal kesejahteraan jika tidak ‘dipuaskan’ ia akan selalu saja maunya mengarah ke bawah. Ngunthet terus maunya. Kurang dan kurang terus seakan tanpa bisa dikendalikan lagi. Berbagai ‘rumusan’ dan sistem reward/punishment terkait dengan ‘penghasilan’ ini telah dikembangkan, masalahnya adalah: jelas itu belum cukup. Dalam Alegori Kereta Perang-nya Platon, bahkan bisa digambarkan bahwa untuk ‘menjinakkan’ liarnya kuda hitam itu masih perlu tiga hal lagi, si-kuda putih, sais, dan sayap yang ada di kanan-kiri badan kereta. Sayap dalam hal ini bisa kita maknai sebagai ethos, sebagai elan vital. Kuda putih adalah masalah kebanggaan selain juga sebuah ‘pengawasan-melekat’, dan sais selain soal kepemimpinan dia juga adalah sebuah inspirasi yang didukung oleh nalar yang mumpuni.

Birokrasi di sini adalah tepat jika dikaitkan dengan istilah ‘aparatur sipil negara’, dan bukan ‘aparatur sipil pemerintah’, karena loyalitasnya pertama-tama adalah pada negara, bukan pada rejim. Dia memberikan bermacam informasi soal bermacam aspek dalam penyelenggaraan negara pada ‘pemerintahan hasil pemilihan’ untuk digunakan dalam proses-proses pengambilan keputusan politik dan tindakan-tindakan berikutnya. Dan di sinilah ‘ketegangan’ akan segera dirasakan, akankah yang namanya ‘aparatur sipil negara’ itu akan pertama-tama loyal pada negara atau pada rejim? Sebab di satu pihak, apa yang dilakukan oleh negara itu hanya akan dirasakan oleh rakyat melalui pemerintahannya, termasuk juga melalui jajaran birokrasinya. Di satu pihak, rejim yang terpilih melalui pemilihan itu tentu juga berkeinginan supaya semua aparatur negara mendukung keputusan-keputusan politik yang dibuatnya. Bahkan tidak hanya soal keputusan-keputusan politiknya, tetapi juga keberlangsungan rejimnya. ‘Aparatur sipil negara’ itu maunya menjadi ‘aparatur sipil rejim’.

Hal di atas kiranya akan sulit diurai, dan mungkin lebih baik kita fokus pada bantuan Platon di atas, yang segera nampak bahwa soal menjinakkan kuda-hitam itu terutama adalah soal sais-nya. Tentu sais di sini termasuk juga sais yang paham dan trampil soal ‘mendisain’ hasrat vs hasrat. Bagaimana soal hasrat ngunthet (ngutil) itu dilawankan dengan hasrat akan cerahnya karir, misalnya. Tetapi masalah utama yang dihadapi oleh si-sais hasil pemilihan itu adalah soal ‘pakta dominasi’. Jika terkait dengan birokrasi ini, ia akan ada di tengah-tengah antara ‘pakta dominasi’ dan invisible party, birokrasi ini. Birokrasi yang sangat mungkin sebagian sudah terkontaminasi oleh ‘pakta dominasi’ ini. Dan bagaimana jika tidak hanya sebagian birokrasi yang sudah terkontaminasi ‘pakta dominasi’ ini? Jika bahkan si-sais hasil pemilihan itupun dilahirkan dari rahim yang sedang duduk di ‘pakta dominasi’ itu? Pakta dominasi yang mana para oligark-pemburu rente itu berkumpul?

Hanya pemimpin yang otentik-lah yang akan mampu ‘mengelola’ carut-marutnya masalah di atas. Sais yang dalam perjalanan ‘karir-(politik)kenegaraannya’ mampu menghayati ketika kematian ada di depan mata. Entah itu kematian sanak-saudara atau sahabat terdekat, atau ketika ia ada di antara desingan peluru dan mempertaruhkan nyawanya. Atau yang tergerak ketika negara-bangsanya ada di bibir jurang. Dan hari-hari ini di media-sosial kita melihat bagaimana proses penyusunan APBD DKI itu menelusup dalam ruang publik. Siapa-pun yang terlibat dalam naiknya proses tersebut kita patut berterimakasih, karena dengannya kita bisa seakan terlibat dalam proses. Kita menjadi lebih tahu karena seakan ikut berproses. Kita semakin yakin bahwa bukan yang penting bagaimana APBD itu nantinya diumumkan, tetapi juga bagaimana proses-proses-detail-nya. “The evil always comes from details,” demikian Henning Menkell dalam The Man from Beijing. Dan melihat hal-hal yang terjadi ketika Anies ikut kontestasi Pilgub DKI lalu, kita sungguh berharap dapat melihat bagaimana pemimpin yang otentik itu mampu berenang dalam lumpur masalah tanpa harus tenggelam di dalamnya. Semoga. *** (31-10-2019)

 

[1] Alvin Toffler, Powershift, Batam Books, 1990, hlm. 257

"Menikmati" Proses

gallery/plato wings