www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

30-10-2019

Tulisan ini bukan soal Partai Hanura yang gagal masuk Senayan, tetapi mencoba membayangkan peradaban apa yang akan berkembang di sekitar kita ketika apa yang disebut hati nurani itu semakin dalam terkubur dan semakin tidak terlatih. Hati nurani merupakan keterarahan mutlak pada yang baik dan benar yang justru kita rasakan apabila berhadapan dengan situasi konkret yang bermasalah.[1] Jadi memang dalam bermacam situasi konkret yang bermasalah, hati nurani tidak pernah diam. Dan respons atau sikap kita atas situasi konkret itu akan menentukan mutu kita sebagai manusia.[2]

Bahkan di banyak ‘negara sekuler’-pun, kitab suci sering menjadi pendamping utama dalam prosesi pengambilan sumpah atau janji. Mengapa? Bukankah segala pasal dan mata media/sosial media dan juga khalayak sudah cukup untuk mengawal sumpah atau janji tersebut? Nampaknya itu masih belum meyakinkan si-pengambil sumpah sehingga masih diperlukan ‘pengawasan internal’ bagi si-tersumpah. Di situlah sebenarnya suara hati, hati nurani berperan. Kitab Suci mungkin mengandaikan bahwa ada sesuatu yang pasti baik dan benar yang selalu berhadapan dengan suara hati kita. Dan itu akan membuat kita merasa malu atau merasa bersalah jika kita tidak selalu mengarah pada bisikan-bisikan suara hati kita.

Hati nurani yang semakin terkubur dan tidak terlatih ini adalah soal keterarahan yang semakin tumpul dan semakin tidak terlatih. Pada konteks kondisi sosial, budaya malu dan rasa bersalah yang berkembang akan sangat membantu bagaimana keterarahan pada hati nurani ini akan semakin terlatih. Maka tidak berlebihan juga jika (sebaliknya) budaya malu dan rasa bersalah ini tidak berkembang secara sosial dalam satu masyarakat, kadang muncul kegundahan radikal: bahkan Tuhan-pun sudah tidak ditakuti lagi. Saking gusar-nya misalnya dengan kenyataan laku-laku yang sungguh mbèlgèdès itu terus dan terus saja berulang, dan bahkan semakin merebak dan dalam. Contoh, soal KKN itu. Atau yang mudah dilihat, kosongnya kursi sidang DPR.

‘Situasi konkret yang bermasalah’ di tempat paling ujung sana adalah ketika nyawa-nyawa manusia dipertaruhkan. Ketika banyak nyawa melayang dengan penjelasan yang serba kabur, di situlah semestinya hati nurani terusik. Bagaimana negara bersikap terhadap masalah ini sebenarnya juga merupakan salah satu tolok ukur bagaimana mutu hidup bersama itu sedang dibangun. Ataukah memang ada satu keinginan tertentu supaya hati nurani minggir dalam penyelenggaraan negara? Mungkinkah itu? Mengapa tidak? Bayangkan sebuah kebohongan, dan kita tahu bersama jika kita terdidik secara benar, kebohongan-kebohongan itu akan tidak secara ‘mulus’ keluar begitu saja. Ada hati nurani, ada suara hati yang seakan ‘menegur’ laku bohong itu. Kadang muncul dalam tanda-tanda kasat mata, seperti keringat dingin muncul, atau rasa berdebar-debar.

Dan bayangkan pula ketika kita terdidik atau terbiasakan untuk tidak merasa terusik ketika masalah konkret paling ekstrem muncul, seperti misalnya hilangnya nyawa manusia dengan tanpa kejelasan hal sebab-penyebabnya itu. Apakah kemudian kita bisa menjadi begitu permisifnya terhadap masalah konkret ‘di kelas di bawah’-nya? Misal ingkar janji, bohong, kutu loncat, dan lain-lain. Atau bahkan KKN? Atau bahkan juga kekerasan yang ganas dan penuh premanisme? Bisa jadi itu: bisa jadi kita bersikap permisif ..... Dan bagaimana soal mutu hidup bersama ketika laku-laku mbèlgèdès itu masuk dalam ‘fase stabilisasi’-nya? Terlalu banyak kita sekarang ini, dan bertahun terakhir seakan sedang dibiasakan oleh hal-hal atau laku-laku yang sungguh medioker. Contoh yang mungkin masih hangat, soal Gibran anak Jokowi yang mau maju ke pemilihan Walikota Solo itu. Tentu itu adalah hak Gibran untuk ingin maju, seperti juga anda-anda juga berhak. Tetapi dengan bermacam kata di masa lalu dan apa yang nampak sekarang, rasa-rasanya kok sepertinya kita ini sedang dibiasakan untuk melihat tontonan yang ndèk-ndèk-an sifatnya ya ... Ora mutu blas bikin senep saja. Tentu bukan berarti kita menolak hak Gibran itu, mual saja rasanya.

Maka tidaklah salah jika kita menjadi kawatir juga, akankah ke-bar-bar-an yang ganas dan penuh premanisme itu akan mewarnai hidup bersama ke depan? *** (30-10-2019)

 

[1] Franz Magnis-Suseno, Menalar Tuhan, Kanisius, 2006,  hlm. 180

[2] Ibid, hlm. 176

 

Hati Nurani Yang Semakin Terkubur dan Tidak Terlatih

gallery/pinokio2
gallery/godfather