www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

29-10-2019

Bagi pengguna mobil Toyota, yang utama adalah apakah mobil keluaran Toyota itu memang mak-nyus sesuai dengan harapan. Harapan yang terbangun dari promosi besar-besaran pabrikan Toyota itu. Atau cerita dari salesman dan teman-temannya. Juga majalah-majalah otomotif. Sebagian besar konsumen tidak akan peduli apa yang terjadi sebelum mobil itu dikirim setelah ia melunasi pembeliannya. Bagaimana sekrup dipasang atau unsur metalurginya. Tetapi sebenarnya juga tidak sekedar sesuai harapan atau tidak ketika mobil itu keluar dari pabrikan, konsumen pada saat yang sama juga membayangkan bagaimana perawatan mobil nantinya. Akankah mudah aksesnya? Dan lain-lainnya. Bahkan sebagian besar juga mempertimbangkan jika mobil itu nanti mau dijual, mudahkan penjualannya? Jatuhkah harganya?

Bagi CEO Toyota tentu masalahnya lebih rumit lagi. Ia tidak hanya membayangkan apakah mobil-mobil keluarannya akan laku dijual dan mengalahkan pesaing-pesaingnya, tetapi ia mempunyai tanggung jawab untuk memastikan itu terjadi. Tidak hanya mencari feed-back dari para konsumen, tetapi terlebih ia terus mencoba meraba apa yang sedang dan akan terjadi dalam dinamika konsumen. Itulah mengapa bagian penelitian dan pengembangan akan mempunyai peran sangat penting. Input dari bagian ini jika salah bisa-bisa kerugian besar-besaran yang akan dihadapi. Proses yang terjadi di pabrikan-pun juga sangat penting. Dan tentu juga hidung bisnisnya, katakanlah insting-naluri. Kaizen yang dikembangkan Toyota berpuluh tahun yang lalu telah diakui oleh banyak pihak bagaimana proses yang baik itu akan memberikan daya dukung besar bagi kelangsungan korporasi.

Kaizen tidak hanya soal proses saja, tetapi terlebih adalah bagaimana orang-orang yang terlibat dalam proses itu dapat berpartisipasi aktif. Manusia-manusia yang terlibat dalam pabrikan itu bukanlah satu bagian dari ‘sekrup’ yang tidak berpikir. Ia melaksanakan, ia mengamati, menimbang, dan jika ada usul kemudian dipertimbangkan, diputuskan, dan perubahan ke arah yang lebih baik-pun ditetapkan. Demikian seterusnya.

Ketika dulu mahasiswa dengan sistem SKS, ada istilah ‘sistem kebut semalam’. Atau coba kita lihat lagi sifat mentalitas suka menerabas yang ditulis Koentjaraningrat sekitar 40 tahun lalu. Atau juga sifat mentalitas yang meremehkan mutu. Akankah Kaizen a la Toyota itu misalnya, akan berhasil jika mentalitas tersebut beredar luas di kalangan pekerjanya? Perbaikan-perbaikan (kecil-kecil) yang berlangsung terus itu pada titik tertentu ternyata menghasilkan ‘lompatan’ kualitas tertentu. Atau dalam politik digambarkan oleh Sidney Blumenthal tentang Abraham Lincoln: “Lincoln knew from experience that great change required a thousand small political acts.[1]

Dalam Fenomenologi, misal ada urutan nada 1-2-3-4, ketika nada 2 diperdengarkan itu bukan berarti peran nada 1 dan 3 sama sekali nol. Ketika nada 2 diperdengarkan, nada 1 seakan ‘tertahan’ tidak segera menghilang. Nada 1 seakan memberikan background bagi nada 2. Nada 3 meski belum terdengar, tetapi ia seakan ‘sudah diantisipasi’ kedatangan suaranya. Nada 1 yang seakan menjadi background bagi nada 2 saat nada 2 terdengar itu (sekarang) dapat juga dikatakan ia sebagai horison bagi nada 2. Pengertian horison dalam Fenomenologi juga mencakup dalam pengertian ini.

Katakanlah seorang mahasiswa semester 1 sedang membaca buku A, dan ada beberapa bagian yang di-stabilo karena menurutnya penting. Coba bayangkan ketika ia di semester 6 dengan sudah banyak buku dan diskusi yang ia lalui selama ini, kemudian ia membaca ulang buku A tersebut. Mungkin saja ia heran mengapa bagian ini ia stabilo waktu semester 1 dulu. Atau yang dulu lewat saja sekarang ia merasa perlu itu di-stabilo. Apa yang membuat ketika ia mendengar nada 2 sekarang antisipasinya terhadap nada 3 menjadi berbeda? Mungkinkah karena nada 1 yang menjadi horison nada 2 itu telah mengalami pengembangan? Melihat beberapa hal di atas maka tidaklah mengherankan jika van Peursen dalam Phenomenology and Reality (1972) menandaskan bahwa horison adalah merupakan ‘room for progress’. Terlebih jika kita juga menghayati horison adalah juga ruang di mana posibilitas diletakkan.

Seorang pemimpin sebaiknya paham dan menghayati ‘the nature of progress’ ini, yang itu adalah erat terkait dengan ‘memajukan horison’ ini. Mengajak yang dipimpin untuk mau bersusah-payah masuk dalam dunia posibilitas ini. Masuk dan bersama-sama merawat ‘room for progress’ ini. Dan ini hanya akan berhasil ketika paradigma yang dipakai adalah paradigma proses. Dalam pendidikan-pun akan berlaku seperti ini. Dan kita sudah merasakan bersama betapa stagnan-nya pendidikan ketika ia ber-paradigma output. Dan juga bagaimana luasnya posibilitas itu lebih dinikmati oleh ‘bukan kita’.

Maka jelas juga ini bukan soal ‘sending-sending-delivered’. Dan sebagai pembayar pajak jika ada seorang pemimpin mengatakan bahwa proses itu tidak penting, kita mempunyai hak juga untuk bersikap: tidak penting .... ndasmu! *** (29-10-2019)

 

[1] Sidney Blumenthal, Lincoln Plays to Win, Newsweek, Oct. 22, hlm. 27

Merawat Horison

gallery/pinokio2
gallery/horizon1