www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-10-2019

Pagi-pagi Ketua MPR Bambang Soesetyo mengungkap keprihatinan soal generasi muda sekarang yang banyak kurang mengenal Pancasila. Bolehlah keprihatinan itu diungkap asal dengan kesadaran penuh terkait dengan tugas MPR sebenarnya dalam hal Pancasila ini adalah menegur pemerintah jika melenceng dari Pancasila. Bukan menegur rakyat, tetapi sekali lagi menegur pemerintah, bahkan memproses pemakzulan jika nyata-nyata melenceng jauh dari Pancasila. Mengapa? Karena Pancasila adalah dasar negara, pedoman dasar bagaimana negara harus berperilaku, dan bagaimana negara berperilaku itu nampak pada kebijakan dan tindakan dari pemerintahan negara Indonesia. Misal, ketika beratus petugas pemilihan meninggal, MPR bisa menegur pemerintah atau presiden dalam hal ini jika ia tidak menggunakan seluruh sumber-daya yang ada di tangannya secara maksimal untuk mengurai kasus ini sehingga memberikan keadilan bagi khalayak. Ada unsur kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban di situ.

Sebagian besar bangsa di planet ini akan mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa itu. Dan bangsa mana yang buta akan kemanusiaan yang adil dan beradab? Atau tidak berpikir soal persatuan bangsanya? Hanya tinggal Korea Utara mungkin yang masih tidak berpikir soal demokrasi. Soal musyawarah-mufakat, tentu di banyak komunitas itu dipraktekkan, bahkan komunitas-komunitas di negara-negara kapitalis. Dan terakhir, bangsa mana yang tidak tahu soal keadilan sosial? Maka mungkin jika menilik nilai-nilai tersebut, apakah bangsa yang hidup di New Zealand bisa dikatakan sebagai yang Pancasialis? Tentu tidak, karena kelima nilai-nilai di atas itu bagi bangsa Indonesia disepakati sebagai dasar bagaimana negara harus berperilaku. New Zealand pastilah punya kesepakatan tersendiri bagaimana negaranya harus berperilaku. Demikian juga negara lain meski kelima nilai-nilai tersebut hidup nyata dalam keseharian mereka.

Maka keretakan Pancasila atau bahkan kehancuran Pancasila itu pertama-tama adalah soal penyelenggara negara, dan bukan soal rakyat atau pemuda-pemudinya. Lihatlah secara perlahan Pembukaan UUD 1945, bagaimana diurai ‘tugas-tugas’ pemerintah negara Indonesia yang diringkas dalam empat tugas, dari melindungi bangsa dan tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, sampai ikut terlibat dalam ketertiban dunia. Dan itu semua mendapat penegasan pada bagian akhir alinea 4 itu, berdasar pada apa yang kita kenal sebagai sila-sila Pancasila itu.

Jika alinea ke-empat itu kita hayati secara tidak terpisah dengan alinea-alinea lain dalam Pembukaan UUD 1945 itu mungkin kita bisa merasakan ‘suasana kebatinan’ yang melekat erat, soal keadilan. Maka tidaklah salah juga jika Pancasila selain sebagai sebuah produk kesepakatan, di dalamnya adalah juga sebuah janji. Janji yang ditawarkan adalah sebuah keadilan. Tentu keadilan 100% adalah sebuah utopia, tetapi bagaimanapun juga utopia itu juga mempunyai fungsi strategis, ia bisa untuk ‘menegur’. Maka ketika Pancasila ‘di tangan’ rakyat atau ‘di tangan’ pemuda-pemudi, pertama-tama ia adalah sebagai ideologi kritis dengan ‘alarm sosial’ yang paling peka adalah ke-tidak-adil-an. Sebuah 'alarm sosial' yang hanya bisa menjadi lemah karena propaganda massif dan adanya nuansa ketakutan yang dalam.  Ketika ketidak adilan dirasakan mulai mengusik, rakyat atau pemuda-pemudi itu akan mengusik pula pemerintah, dan menegurnya. Jika tidak bisa ditegur lagi, ndableg, maka melalui MPR rakyat bisa mengusulkan pelengserannya, pemakzulannya. Dan itulah salah satu alasan mengapa MPR ada.

Ketika rakyat yang selalu dikejar-kejar untuk mengamalkan dan melaksanakan Pancasila, itulah sebenarnya muncul godaan Pancasila sebagai alat pukul. Sekaligus justru ‘menyembunyikan’ bagaimana sebenarnya kelakuan si-penyelenggara negara yang seharusnya melaksanakan Pancasila sebagai dasar kebijakan dan tindakannya. Rakyat dan pemuda-pemudi sebenarnya sudah melaksanakan Pancasila jika ia taat aturan, taat undang-undang, bahkan jika ia grothal-grathul gagap ketika disuruh menyebut sila-sila dalam Pancasila secara lengkap. Mengapa? Karena aturan atau undang-undang yang dibuat negara itu semestinya sudah mengandung nilai-nilai yang ada dalam Pancasila. ‘Pengetahuan’ lebih soal Pancasila ‘di atas sekedar patuh hukum dan undang-undang’ dari rakyat atau pemuda-pemudi adalah ketika ia menghayatinya juga Pancasila sebagai ideologi kritis.

Pancasila disepakati bukanlah untuk mengatur perilaku individu-individu, tetapi untuk menjawab pertanyaan ‘atas dasar apakah negara akan dijalankan’.  Jika ‘negara cinta’ itu ditanyakan atas dasar apa ia akan dijalankan, misal disepakati memberikan bunga, tidak bohong, makan bersama, dan D, E, maka mungkin itu cukup untuk sebuah ‘negara cinta’ dijalankan. Tetapi ketika rakyatnya menghayati cinta, cukupkah ia hanya memberikan bunga, tidak bohong, makan bersama, dan D, E itu? Tentu akan lebih kaya lagi nuansa-nuansanya. Kita memang bisa mengatakan memberikan bunga dan seterusnya itu adalah nilai-nilai dasar soal cinta dari Sabang Merauke, misalnya, tetapi tetaplah nuansa-nuansa cinta dari Sabang Merauke akan lebih kaya. Jadi ketika rakyat ‘dipaksa’ oleh untuk menghayati cinta sebatas memberikan bunga sampai E tersebut, justru akan mengaburkan kekayaan yang ada dari Sabang Merauke soal cinta. Jika dipaksakan maka konsekuensinya adalah akan muncul rincian-rincian yang maunya serba komplit yang akan meng-cover kekayaan-kekayaan nuansa cinta itu, katakanlah seperti hal-hal detail di P4 itu dulu. Mau lagi seperti itu? Tidaklah ...*** (05-10-2019)

Pancasila dan Kehancurannya

gallery/pinokio2