www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-10-2019

Ariel Heryanto dalam akun twitternya 26 September 2019 mengunggah hasil polling terkait dengan beberapa peristiwa di republik. Pertanyaan yang diajukan Ariel adalah: “Bagaimana anda memahami gejolak sosial politik saat ini (kebakaran hutan, kontroversi RUU & KUHP, demonstrasi massa, kekerasan di Papua, tindakan polisi pada Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu)?” Dilanjutkan oleh Ariel: “Mengapa bisa begini?” Pilihan jawaban yang ditawarkan oleh Ariel adalah (1) Wajar2 saja dlm demokrasi, (2) JKW abai keresahan sosial, (3) JKW dikhianati bawahannya, dan (4) Lain2 (tulis komentar). Polling selama 2 hari dan diikuti oleh 7.554 pemilih itu hasilnya adalah:

(1) Wajar2 saja dalam demokrasi: 8%

(2) JKW abai keresahan sosial: 59%

(3) JKW dikhianati bawahannya: 25%

(4) Lain2 (tulis komentar): 8% [1]

Dalam Penjelasan UUD 1945 yang sudah diamandemen itu, ada satu arahan dari founding fathers yang sebenarnya sangat penting bagi kita generasi sesudahnya, yaitu bahwa ‘tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (loi constitutionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinan (geistlichen hintergrund)'. Jika ini dikaitkan dengan UUD 1945, suasana kebatinan yang menjiwai pasal-pasal UUD 1945 itu adalah kental di Pembukaan UUD 1945, dan tentu juga dinamika sejarah dan juga darah serta nyawa para pejuang.

‘Suasana kebatinan’ hanya bisa kita hayati jika kita mau meluangkan waktu dan per-hati-an kita secara khusus, baik dalam rangka melatih diri maupun dalam praktek. Kita perlu ‘menunda’ bermacam hal termasuk juga apa yang sebelumnya sudah kita anggap benar itu, kita tunda atau kita beri dia ‘tanda kurung’ dulu untuk mencoba menelisik apa yang sebenarnya menjadi esensi dari katakanlah sebuah peristiwa, atau sebuah masalah. Sayangnya, sekarang ini kita dihadapkan pada dunia yang berlari cepat. Dunia yang lari tunggang-langgang layaknya sebuah juggernaut siap menggilas apa saja di depannya. Pemimpin yang licik akan menggunakan ke-tunggang-langgangnya situasi untuk menyembunyikan sesuatu, tetapi pemimpin yang mak-nyus, ia tetap tidak kehilangan ‘waktu menunda’-nya. Media massa boleh saja termakan ‘logika waktu pendek’ yang merupakan asap pekat dari sang juggernaut ini, tetapi pemimpin yang mak-nyos ia tetap masih mampu melihat dengan mata jernih di tengah pekatnya asap si-juggernaut.

Maka memang kualifikasi seorang pemimpin di tengah-tengah merebaknya ‘logika waktu pendek’ ini akan mengalami ‘peningkatan’. Ia semakin dituntut untuk mempunyai kualifikasi ‘lepas bebas’ sehingga mampu meloloskan diri dari terjangan sang juggernaut dalam posisi semata hanya sebagai korban saja. ‘Lepas-bebas’ tidaklah sama dengan memimpin ‘tanpa beban’, justru ia sadar-se-sadar-sadarnya beban yang ada di pundak. ‘Lepas-bebas’ adalah seperti digambarkan oleh Loyola, ‘hidup dengan satu kaki terangkat’. Satu kaki terangkat adalah menggambarkan bagaimana seorang pemimpin selalu siap untuk mengantisipasi, beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, atau lingkungan-lingkungan barunya Sedang kaki satunya, itulah jangkar yang selalu terus menggali kedalaman ‘suasana kebatinan’.

Pada titik inilah kita bisa merasakan denyut hasil polling Ariel Heryanto di atas, 59% persen berpendapat bahwa ‘panas-dingin’-nya gejolak sosial politik republik karena Jokowi abai (terhadap) keresahan sosial (yang terjadi). Keresahan sosial adalah riak-riak permukaan yang mesti digali lebih dalam ‘suasana kebatinan’ apa yang sedang berkembang, yang sedang menjadi latar belakang munculnya keresahan sosial itu.

74 tahun, paling tidak, kita menghayati apa yang ada di Pembukaan UUD 1945 sebagai latar belakang, sebagai back-ground, sebagai ‘suasana kebatinan’ mengapa kita memproklamirkan sebagai bangsa berdaulat. Maka tidaklah salah jika kita mencoba menggali lebih dalam soal ‘keresahan sosial’ yang muncul akhir-akhir ini, atau bertahun terakhir ini, dalam horison Pembukaan UUD 1945 itu. Sedikit contoh saja, ketidak-hadiran Jokowi sebagai presiden di Sidang Umum PBB selama 5 kali berturut-turut, salahkah jika itu mengusik apa yang ingin disampaikan dalam Pembukaan UUD 1945 soal ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial itu’? Belum lagi wacana soal ‘jebakan utang’ khususnya dari RRC bertahun terakhir ini. Atau KKN yang terus saja merebak. Atau juga penegakan hukum yang sungguh telanjang menampakkan ketidak-adilan. Dan banyak lagi yang kalau kita raba lebih lanjut nampaknya itu erat terkait dengan masalah kedaulatan dan keadilan, dua hal mendasar yang menjadi suasana kebatinan Pembukaan UUD 1945 selain soal kemanusiaan.

25% yang berpendapat bahwa Jokowi dikhianati bawahannya (dalam polling Ariel di atas) adalah juga tidak main-main, dan jika digabung dengan 59% karena Jokowi abai, itu berarti 84% masalah ada di Jokowi.

Kita tidak bernegara, tetapi menegara, demikian Driyarkara berpendapat. Dan menegara itu berarti bercakap-cakap. Ketika keresahan sosial itu naik ke permukaan, maka kita harus curiga juga ada masalah dalam hal ‘bercakap-cakap’ ini. Dari jejak-jejak digital kita bisa melihat bagaimana eksploitasi ‘bahasa tubuh’ Jokowi dalam komunikasi atau ada yang mengatakan bagian dari pencitraan. Sayangnya, ‘bahasa tubuh’ itu hanyalah satu arah saja, dan tentu ini di luar yang dimaksud Driyarkara ‘bercakap-cakap’ itu. Atau coba kita runut soal mau pindah ibukota negara itu, apakah prosesnya betul-betul sudah menampakkan bahwa kita itu sedang menegara? Atau lihat, tanpa mengurangi rasa hormat bagi yang juara, ketika Papua bergolak justru yang diundang ke istana adalah pemenang lomba gapura. Atau pertemuan kedua, banyak diisi oleh tim sukses waktu pilpres. Soal Papua, kita bisa menunjuk percakapan yang dilakukan Gus Dur dulu sebagai salah satu contoh bagaimana ‘bercakap-cakap’ dalam konteks menegara.

Atau bisakah dikatakan, naiknya keresahan sosial ke permukaan itu karena menegara lebih banyak diisi dengan ngibul? 1001 per-kibul-an pasti tidak akan pernah mampu meraba ‘suasana kebatinan’ warga yang berkembang karena ngibul itu sebenarnya adalah juga ‘kontra-cakap-cakap’. Serba nggampang-ké itu ternyata berujung pada abai. Dan terakhir, kita sungguh masih berharap, jangan abai-kan peringatan Megawati soal perang saudara itu. Hati-hati cuk ..... *** (04-10-2019)

 

[1] https://twitter.com/ariel_heryanto/

status/1177412156347711488

Suasana Kebatinan dan Logika Waktu Pendek

gallery/pinokio2