www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

01-10-2019

Untuk jaman perjuangan ketika terbangun semangat bersatu merebut kemerdekaan, kata yang sering dipakai adalah ‘senasib-sepenanggungan’. Itulah empati, sebuah eros yang bagaikan sayap di badan kereta di Alegori Kereta Perang-nya Platon. Itulah empati yang sudah mengusik pertanggung-jawaban.

 

 

 

 

 

Defisit empati kadang kita hayati sebagai sebuah ‘arogansi’, padahal dalam urusan republik bisa lebih dari itu. Defisit empati bagi yang ingin menguasai republik berarti juga ingin membongkar salah satu akar penting berdirinya republik: ‘senasib-sepenanggungan’. Dengan terbongkarnya atau tercerabutnya akar ‘senasib-sepenanggungan’ ini mereka sedang membayangkan akan lebih mudah menguasai republik. Apalagi sudah dibiakkan apa yang sering kita sebut sebagai ‘adu-domba’ itu.

Maka sebaiknya para pemimpin itu mempunyai nalar yang memadai, karena dalam kompleksitas yang berkembang, empati dalam konteks republik sekarang ini semakin membutuhkan nalar. Apalagi memang dalam empati diperlukan juga kemampuan dalam imajinasi. Tentu awalnya adalah ‘rasa-peka’ yang terdidik dan terlatih, apalagi ‘senasib-sepenanggungan’ itu sekarang ada di tengah-tengah lebih dari 7 milyar manusia di planet bumi ini, hampir 3 kali lipat saat 1945.

‘Imperial’ yang menggantikan imperialisme abad 20 dan sebelumnya itu –meminjam analisis Negri dan Hardt dalam Empire, sangat penuh godaan berkembangnya ‘kontra-empati’. Apalagi ditambah dengan merebaknya paradigma neoliberalisme bersama ultra-minimal state-nya itu. Tidak hanya perlu dukungan nalar saja, tetapi juga rasa cinta pada yang senasib-sepenanggungan itu, atau sebutlah sikap patriotik. Maka tidaklah salah jika meneropong perilaku pemimpin kita wajib juga membawa ‘alat pengukur’ empati ini. Paling tidak supaya kita bisa bersiap diri terhadap kemungkinan yang akan terjadi di masa depan, tahun-tahun vivere pericoloso. *** (01-10-2019)

Defisit Empati Yang Terus Membangkak

gallery/jokowi pekok
gallery/plato wings