www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-09-2019

Judul tulisan mendapat inspirasi dari buku terbitan Penerbit Buku Kompas: Indonesia 2001 Kehilangan Pamor. Buku yang terbit April 2001 itu, atau kalau anda pada tahun itu berbahagia karena dianugerahi seorang anak yang lucu itu berarti sekarang mungkin sedang menginjak tahun pertama kuliah, merupakan kumpulan tulisan yang pernah terbit di Harian Kompas, pada akhir tahun 2000. Atau kalau anak anda tahun itu menginjak bangku TK/SD, mungkin sekarang ia sedang berhadapan dengan oknum aparat keparat brutal yang juga bawa pentungan, water canon, dan gas air mata itu.

Buku bersampul merah-putih itu, bagian akhirlah yang paling menarik, bagian dengan judul Masa Depan Indonesia dan berisi hanya 1 tulisan karangan Imam B. Prasodjo: “The End of Indonesia?”  Imam mengawali tulisannya dengan mengutip ucapan Marx, all that is solid melts into air. Seperti kita ketahui bersama, akhir abad 20 memperlihatkan bagaimana ‘bangunan-bangunan’ yang nampak solid itu tiba-tiba saja nampak melunak bahkan mencair dan menguap begitu saja. Tembok Berlin runtuh, Tirai Bambu mulai memeluk kapitalisme, dan juga bahkan si-Tirai Besi. Belum lagi yang berkuasa dalam waktu lama tiba-tiba saja tumbang, termasuk di republik. “Tanda-tanda zaman di akhir abad ini semakin tegas memperlihatkan –‘semua yang solid, kini nampak menguap ke udara’. Tatanan lama yang baku, kini terurai, merambah mencari bentuk baru,” demikian tulis Imam.[1]

Setelah mengurai fakta-fakta obyektif dan potensial yang dihadapi bangsa Indonesia, Imam kemudian secara tepat mempersoalkan hal ‘nation building’. Bagai seorang Stoic, Imam seakan sedang menekankan apa yang tergantung pada kita dan yang tidak. Nation building adalah hal yang tergantung pada kita, dan itulah yang ditawarkan Imam supaya pertanyaan pada judul tulisannya (The End of Indonesia?) tidak berjawab ‘ya’. Bukan soal infrastruktur yang pertama-tama ditawarkan, apalagi dengan mengandalkan utang yang justru akan mendorong ketergantungan semakin dalam, tetapi nation building.

Maka ketika 13 tahun setelah buku dari Penerbit Buku Kompas itu terbit dan muncul narasi soal Revolusi Mental, apa yang diraba Imam dulu seakan mendapat momentum lebihnya. Inilah saatnya Indonesia kembali ber-pamor melalui jalan ‘revolusi mental’ itu. Tapi apa lacur, kita bisa melihat dan merasakan bagaimana nasib soal ‘revolusi mental’ itu, yang bahkan soal website-nyapun terasa grothal-grathul tak bermutu. Apa yang merupakan kegelisahan dalam nation building seperti disinyalir Koentjaraningrat[2] pertengahan 1970-an itu, (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) mengabaikan tanggung jawab yang kokoh, justru seakan mendapatkan tempat berbiaknya. Narasi ‘revolusi mental’ itu tidak pernah menjadi sebuah karya yang menggetarkan se-menggetarkan ketika media-media mainstream itu menggorengnya. Persis seperti nasib mobil Esemka yang dengan begitu antusiasnya khalayak terhadap narasi mobil itu, justru telah menjadi ‘prototipe agung’ dari sebuah mentalitas yang suka menerabas dan tidak percaya diri itu. Dan seperti itu di-glorifikasi lagi. Matik.

Mengapa soal nation building ini bukanlah hal mudah, dan butuh pemimpin yang tidak hanya mempunyai integritas tinggi tetapi juga mempunyai daya imajinasi dan nalar yang cukup serta keberanian? Karena dalam konteks republik, ia akan head-to-head dengan ‘oligarch building’! Ini adalah masalah dengan pakta dominasi yang akan merasa nyaman dan aman jika (1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya pada diri sendiri, (4) tak berdisiplin murni, dan (5) mengabaikan tanggung jawab yang kokoh itu tetap membiak di republik. Dengan itu semua para oligark akan merasa nyaman melanjutkan strategi yang didasarkan pada pandangan bahwa bangsa di republik itu adalah dungu dan mudah disogok. Maka mereka kaum oligark itu juga akan merasa nyaman ketika pemimpinnya adalah misalnya, memaknai dan ngibul di depan publik bahwa soal otoritarianisme itu adalah soal wajah semata.[3]

Tetapi para oligark itu lupa, meski rejim boneka mereka meminggirkan (telak) soal nation building ini, sebagai learning society yang sedang dianugerahi oleh kemajuan teknologi komunikasi yang berkembang pesat itu, khalayak juga jelas belajar/berkembang dan tidaklah kalau dikatakan sebagai yang dungu itu. Akhirnya yang muncul dalam penghayatan republik tidaklah sekedar kehilangan pamor, tetapi sudah di bibir jurang. Ketika rejim boneka kaum oligark itu bersikukuh untuk memindahkan ibukota negara dengan menerabas bermacam kepatutan ketika sebuah negera berdaulat ingin memindahkan ibukotanya, maka publik segera menangkap ini bukan lagi sekedar soal pindah-memindah, tetapi erat terkait dengan kepentingan kaum oligark itu. Dan bahkan tidak hanya itu, tetapi erat terkait dengan kepentingan dimana sebagian oligark itu ‘minta perlindungan dari raja’ yang ada di seberang lautan. Tidak hanya pimpinan tertinggi yang akan dijadikan boneka, tetapi juga republik. Dan ...... meledaklah perlawanan itu. Perlawanan yang semakin lama semakin nampak bukan lagi soal RUU dan sekitarnya, tetapi juga sudah masalah survival. Ledakan daya dalam bertahan hidup sebagai satu bangsa. “All that is solid melts into air” demikian yang menjadi keyakinan banyak khalayak sekarang ini terkait solidnya kaum oligark dan boneka-bonekanya itu. Boneka-boneka dari yang plonga-plongo itu sampai dengan yang memegang pena dan bermain gadget, juga yang bawa pentungan. Mereka-mereka yang secara brutal telah menggadaikan republik ini. Bangsat. *** (26-09-2019)

 

[1] Imam B. Prasodjo, The End of Indonesia?, dalam Indonesia 2001 Kehilangan Pamor, Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 187

[2] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.

com/395-Salam-Dari-Koentjaraningrat/

[3] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.

com/037-Rai/

Indonesia 2019 Kehilangan Pamor

gallery/indonesia kehilangan pamor
gallery/jokowi pekok