www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

20-09-2019

Syafii Maarif benar ketika bicara soal KPK dan kontroversi revisi UU-nya: “KPK itu wajib dibela, diperkuat, tapi bukan suci. Itu harus diingat.”[1] Jika dilihat lebih jauh lagi maka apa yang ditegaskan oleh Maarif itu adalah hal substansi dan hal operasional-nya. Ke-tidak-suci-an KPK jelas sebenarnya adalah soal orang-per-orangnya –tidak semuanya tentunya, para pimpinan KPK dan jajarannya serta orang-orang yang terlibat dalam pemilihan dan penetapan pimpinan KPK. Sebagai lembaga ad hoc, semestinya KPK itu bersifat sementara, sebagai sebuah lembaga yang misi utamanya adalah dalam kesementaraannya ia membantu lembaga-lembaga utama dalam penyelenggaraan negara ini untuk sampai pada satu bentuk penyelenggaraan negara yang bersih, bebas dari KKN.

Jika sebuah organisasi atau lembaga memerlukan kondisi politis, teknis, dan sosial untuk dapat berfungsi, maka melihat besar dan masifnya penolakan (kondisi sosial) terhadap revisi UU KPK secara tidak langsung menunjukkan bahwa lembaga-lembaga utama dalam penyelenggaraan negara itu ternyata masih saja berkubang dalam pekatnya pusaran gurita KKN. Pembelaan terhadap KPK adalah pembelaan terhadap hal substansi (: kemuakan terhadap gurita praktek KKN) yang sudah diperjuangkan sejak 20 tahun lalu, dan bukan semata pembelaan terhadap KPK sebagai institusi. Apalagi membela pimpinan-pimpinan KPK itu, tidaklah. KPK mau direvisi macam apapun atau dibubarkan, ‘kondisi sosial’ tidak akan bergejolak jika sudah tumbuh kepercayaan pada lembaga-lembaga utama penyelenggaraan negara, terutama lembaga kepresidenan yang memperoleh mandat secara langsung dari rakyat itu, yang salah satunya mandat terkait dengan penanganan gurita KKN ini.

Maka penolakan besar-besaran dan merata terhadap revisi UU KPK ini adalah sebenarnya juga salah satu bentuk telanjang dari ketidak-percayaan ‘kondisi sosial’ terhadap lembaga kepresidenan khususnya dan lembaga-lembaga yang terkait dengan hasil pemilihan pada umumnya. ‘Di bawah sadar’ atau katakanlah ‘penghayatan tersembunyi’, dengan melihat pengalaman lima tahun terakhir dengan didukung pula dan sangat terbantukan oleh jejak-jejak digital yang bertebaran di dunia digital ini, membuat peran presiden dalam Dewan Pengawas dilihat khalayak sebagai salah satu sumber potensial dari bencana masa depan. Bencana yang sangat terkait dengan semakin kuatnya cengkeraman gurita KKN itu. Satu contoh ‘kecil’ saja, bagaimana kita serasa dihantui kekhawatiran kerugian triliunan rupiah yang harus ditanggung bangsa ini terkait BLBI akan terulang lagi dalam penjualan aset-aset ibukota (di DKI) demi ilusi grusa-grusu pindah ibukota itu? Belum lagi soal pindah ibukotanya.

Enough is enough, cukup sudah kita sebagai bangsa ini dipermainkan. Dipermainkan seperti layaknya bangsa yang dungu dan mudah disogok. Cukup dengan ngibul, selesai. Cukup dengan foto sana foto sini, selesai. Cukup dengan foto sepatu kotor, selesai. Cukup dengan massa bayaran, selesai. Dan seterusnya. Dipermainkan bahwa soal pemberantasan KKN itu adalah urusan KPK dan bukan urusan dari si-terpilih. Maka hanya satu kata: lawan! Kita harus sesadar-sadarnya bahwa segala carut marut kebusukan ke-bangsat-an soal KKN ini adalah pertama-tama dan yang utama dan tidak bisa dialihkan pada orang atau lembaga lain adalah seratus persen di pundak yang kita pilih secara langsung itu. Tidak pada yang lainnya. Dan jika si-terpilih itu kemudian terlalu banyak cengéngésan dan ngibul itu jelas sadar atau tidak, ia sedang menghina kita sebagai bangsa. *** (20-09-2019)

 

[1] https://www.gelora.co/2019/09

/usai-temui-jokowi-di-istana-syafii-kpk.html

Tidak Suci, Tapi Wajib Dibela

gallery/ngibul kaos