www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

08-09-2019

Kalau tidak salah, sekitar awal tahun 2017 atau dua tahun pemerintahan Jokowi berjalan, Komarudin Hidayat menulis mengapa Denmark bisa menjadi negara yang makmur, dan ditekankan disitu adalah karena faktor kejujuran.[1] Atau bisa dikatakan, kejujuran ternyata bisa mempunyai daya ungkit besar dalam upaya bersama memajukan hidup bersama sebagai satu bangsa. Atau kalau memakai kata-kata Jokowi saat meresmikan ‘pabrik’ Esemka di Boyolali beberapa waktu soal multiplier effect, kejujuran ternyata mempunyai multiplier effect yang tidak kecil.

Mestinya kejujuran ini bisa berperan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan daya ungkit besar maka dia tidak hanya ada di lingkungan agamawan atau akademisi saja, tetapi mestinya ada di hampir semua aspek kehidupan juga. Terutama adalah dalam urusan penyelenggaraan negara. Jujur akan juga berefek pada tersedianya data-data yang sahih dan pasti tidak manipulatif, dan dengan itu pula maka si-penyelenggara negara dapat dihindarkan dari kesalahan fatal dalam pengambilan keputusan. Juga bermacam hasil pajak dari warga negaranya dapat dipergunakan sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan bersama.

Tetapi salah satu terpenting dari efek berantai kejujuran ini adalah soal efisiensi. Hidup bersama menjadi efisien dalam arti tidak terlalu banyak tetek-bengek sebagai akibat dari rasa saling curiga. Maka kehormatan akan menjadi hal yang tidak terpisahkan dari laku jujur ini. Ujung dari ini adalah soal trust, soal kepercayaan. Dan ditulis oleh Komarudin, tingkat korupsi di Denmark, dan juga di Finlandia dan New Zealand itu nyaris nol. Kebocoran anggaran negara-pun bisa dikatakan hampir tidak terjadi, dan itulah juga efek berantai dari kejujuran, mendorong efektifitas (anggaran).

Komarudin Hidayat juga menyinggung soal pendidikan, dan sangat benar Komarudin menyinggung pendidikan di Sekolah Dasar. Memang pendidikan dasar itu sebaiknya fokus lebih pada pendidikan eros.[2] Artinya, bagaimana dibangun suatu daya energi yang selalu terarah pada hal-hal yang baik, termasuk di sini adalah soal kejujuran dan kehormatan itu. Dan ini tidaklah mudah dan bisa-bisa akan mengambil fokus selama masa pendidikan dasar. Bermacam cara, bisa melalui dongeng, olah raga, musik, puisi, baca karya sastra, dan bermacam lagi. Intinya adalah, serius dalam proses, serius dalam pendidikan dengan paradigma proses.

Memberikan penghargaan tinggi pada proses adalah salah satu prakondisi penting dalam menumbuh-kembangkan kejujuran ini. Selain itu, terlalu menekankan pada out-put dan melupakan peran penting proses bisa kejeblos-jeblos nantinya. Jika Alexander Hamilton di awal abad 19 tidak mengajukan proposal soal infant industry, dan hanya berpikir pokoknya rakyat dapat barang-barang murah dari Inggris waktu itu, akankah industri di AS sana akan berkembang dan AS kemudian mempunyai kekuatan untuk menjadi super-power? Dibalik logika infant industry tersebut adalah sebuah proses serius yang sedang berjalan. Sebuah proses kreatif dan ‘penuh kehormatan’ yang memerlukan ‘perlindungan’ karena masih ‘infant’. Apa yang dikembangkan di AS waktu itu kemudian dibawa ke Jerman oleh Friedrich List, dan juga oleh beberapa orang Jepang yang melakukan ‘studi banding’ ke Jerman, dan menerjemahkan karya List ke bahasa Jepang. Dan dapat kita lihat bersama sekarang bagaimana Jerman dan Jepang-pun menjadi maju. Sayangnya, atau urik-nya, tangga yang dulu membuat mereka-mereka maju itu sekarang merekalah yang menendangnya juga, atas nama neoliberalisme itu. “Kicking away the ladder’, demikian Ha Joon Chang menjuduli salah satu karyanya.

Judul tulisan: Ngibul dan multiplier effect-nya adalah sebuah ajakan untuk membayangkan, akankah Denmark akan menjadi negara makmur jika pemimpinnya adalah tukang ngibul? Kita bisa bayangkan jika ada yang sedang merintis jadi pemimpin dan ternyata dia itu tukang ngibul, mungkin pagi-pagi dia sudah ditendang masuk got. Terlalu besar yang dipertaruhkan jika membiarkan ngibul menjadi ‘paradigma’ kepemimpinan. *** (08-09-2019)

 

[1] https://www.industry.co.id/

read/2368/mengapa-denmark-menjadi-salah-satu-negara-termakmur-dunia

[2] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com

/215-Mak-Erot-Eros/

Ngibul dan 'Multiplier Effect'-nya

gallery/pinokio