www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

31-08-2019

Kalau Thukul Arwana menjadi staf khusus presiden menggantikan Moeldoko maka mungkin dengan bersemangat ia akan menyarankan ke presiden, kembali ke laptop! Kembali melihat salah satu tekad reformasi 20 tahun lalu: berantas KKN, Korupsi-Kolusi-Nepotisme. KKN yang selama bertahun-tahun dan terlebih 5 tahun terakhir justru semakin menunjukkan betapa KKN ini sungguh bersifat ‘super-radikal’.

Lihat bagaimana KOLUSI dalam komplotan oligark-pemburu rente ini begitu merebaknya, paling tidak bisa kita lihat dari mengapa Rizal Ramli begitu inginnya menteri perdagangan itu mundur saja. Saking jengkelnya melihat praktek kolusi yang salah satunya berujung pada selalu tertekannya peningkatan kesejahteraan petani-petani kita. Atau peristiwa yang lagi up-to-date, pindah ibukota itu. Tentu ujungnya bisa ada korupsi di situ tetapi seperti saran Thukul di atas, sebaiknya kita kembali memakai istilah KKN, selain lebih tajam dimensinya kita juga bisa meraba ke-super-radikal-annya karena hampir sebagian besar masalah di republik ini mempunyai dimensi KKN ini, mempunyai akar kuatnya di KKN ini.

Dalam ‘ilmu otak-atik-gathuk’ istilah KKN ini bisa dihayati juga sebagai mbah-nya jiwa penjajahan, 3G: Gold, Glory God. Korupsi adalah soal gold, sedang kolusi adalah glory karena ia akan erat terkait dengan ‘keagungan sebuah kekuasaan’. Istilah nepotisme pada awalnya adalah dipakai untuk semacam ‘hak istimewa’ bagi Paus di Abad Pertengahan untuk memberikan ‘jalan istimewa’ bagi anak biologisnya (pada jaman Abad Pertengahan) yang penghalusannya di sebut sebagai ‘keponakan’ atau ‘nephew’ yang asal bahasa Latinnya ‘nepotem’. Jadi ya itu-tuh, ada kaitannya dengan ranah God juga ternyata. Dan jika mengingat pandangan Carl Scmitt dalam Political Theology, “All significant concepts of the modern theory of the state are secularized theological concepts’ (hlm. 36) keterkaitan nepotism dalam ‘god-sekuler’ bisa dipahami.

Maka jika di kebanyakan khalayak terkait dengan merebaknya KKN kemudian muncul penghayatan serasa dijajah, tidaklah jauh-jauh amat dari yang sebenarnya terjadi. Apalagi jika kita meminjam istilah dari Teori Ketergantungan soal ‘pusat-pinggiran’ di mana pusat itu ada di luar republik. Sebuah klientisme yang sungguh mbèlgèdès. Masuk dalam imajinasi kita terkait dengan ranah ‘sistem-dunia’ yang kemudian disebut Hardt dan Negri sebagai Empire itu. Komplit, dijajah oleh bangsa sendiri sekaligus juga oleh bangsa luar. Megap-megap.

Dan dengan hal-hal di atas, mari kita lihat bersama dengan akal sehat dan mata jernih, mengapa ada perasaan terjajah di rakyat Papua. Mengapa ada perasaan terjajah di rakyat republik. *** (31-08-2019)   

Super-radikal-nya KKN

gallery/pinokio