www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-08-2019

Dalam bahasa Jawa, mulut dan ‘stakeholder’-nya mempunyai beberapa istilah, seperti tutuk, cangkem, congor, cocot, conthong, dan mungkin masih ada lagi. Jika kita menelusuri asal muasal istilah ‘pokrol bambu’ maka kita akan menemui istilah itu digunakan pertama kali oleh wartawan Belanda jaman Nusantara masih dijajah. Dan jika kita bayangkan kira-kira apa yang ada dalam benak si-wartawan Belanda itu mungkin ia sedang menulis tentang kaum Sophis. Terlalu banyak kata-kata kosong, ‘cangkeman’ saja, yang penting menang berdebat. Kutipan dari Y.B. Mangunwijaya di bawah yang menyinggung soal retorika jelas dimaksudkan bukan ‘olah-kata’ yang ‘pokrol bambu’ itu, olah kata ditangan kaum Sophis. Dan jelas juga bukan ‘cangkeman’ belaka. Mangunwijaya, dalam artikel “Pendidikan Manusia Merdeka” (Kompas, 11 Agustus 1992), menuliskan :

Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika

“Pengertian retorika biasanya kita anggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan[i]

Tetapi menurut Montesquieu, perdagangan juga bisa mendorong peradaban, le doux commerce (perdagangan yang melembutkan / memberadabkan watak manusia)[ii] Tetapi tetap saja jika kita lihat lebih dalam lagi, ia melibatkan juga retorika, atau katakanlah ‘retorika-mini’. Dan le doux commerce itu bukanlah terjadi di ruang kosong, tetapi ia ada juga dalam situasi yang mana ada kemungkinan jatuhnya ‘sangsi sosial’. Atau bahkan sangsi-sangsi lainnya yang bisa-bisa berujung pada ‘perang dagang’ atau bahkan perang dalam arti harafiah ‘bedil-bedil-an’. Jika perdagangan penuh dengan ‘cangkeman’ maka bisa-bisa yang paling ringan ia akan dijauhi oleh pembeli, atau rekan bisnis-nya. Atau bahkan berujung pada gugatan perdata, misalnya. Maka, mulut bagi manusia tidaklah sekedar berurusan dengan makan-minum saja, tetapi ia sangatlah berurusan dengan peradaban.

Kita sering mendengar ungkapan ‘semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup’, sebuah ungkapan yang seringnya dihayati sebagai semakin tinggi kedudukan, musuh-musuh-godaan-godaan semakin banyak yang akan menggoyang. Tidak salah dengan itu, tetapi janganlah melupakan penghayatan lain: semakin tinggi kedudukan, angin tanggung jawab juga semakin kencang, semakin besar. Termasuk dalam hal ini, tanggung jawab dalam ber-ucap. Semakin tinggi kedudukan, ucapan laksana ‘idu-geni’ (meludah api), penuh bobot, penuh makna, dan mempunyai konsekuensi yang tidak kecil.

Ketika laporan keuangan Garuda berubah dari untung sekian milyar dan kemudian menjadi rugi sekian triliun, itulah salah satu contoh ‘cangkeman-kerah-putih’ yang sungguh telanjang. Jika ‘cangkeman’ seperti itu berlalu saja tanpa adanya sangsi yang sepadan, kita patut menjadi khawatir ke-adab-an publik yang terbangun adalah keadaban yang penuh topeng. Atau lihatlah ‘cangkeman’ dari salah satu tokoh yang melejit popularitasnya terkait dengan mobil Esemka bertahun lalu itu, sudah ada yang pesan beribu unit katanya, dan bermacam-lagi, termasuk ‘cangkeman’-nya dalam bentuk ‘bahasa tubuh’ yang ditayangkan secara massal itu: diarak, di-‘sajèni’, di-elu-elu-kan, dan sejenisnya. Mulut yang menyihir itu, ternyata mulut yang sungguh mbèlgèdès. Bukan karena sihirnya, tetapi sihir mulut yang isinya ‘cangkeman’ belaka. Atau lihat jejak digital ketika seseorang tokoh bicara soal kebocoran anggaran, dan justru nyinyir keras dalam bentuk ‘cangkeman’ bocor ... bocor .... bocor .... itu. Lihat wajahnya, nampak begitu menikmati ranah ‘cangkeman’ itu. Dan banyaaak lagi ‘cangkeman’ yang dilakukan oleh level ‘kerah-putih’ itu.

Dalam ‘manajemen talenta’ yang sekarang sedang digenjot itu, alat utama dalam politik sebenarnya adalah mulut. Jika kita mengikuti pembedaan jiwa atau tripartit-nya Platon, ‘mulut politik’ itu semestinya didukung oleh nalar yang kuat. Dan jika lebih didorong oleh uang dan kekerasan, yang keluar dari mulut bisa dipastikan ‘pating-pecothot’, jumpalitan semau-maunya, inkonsistensi yang sangat mudah dilacak dari jejak digital. Dan jelas juga sebenarnya, mulut yang tidak asal ‘cangkeman’ itu. Maka sangatlah benar yang diungkap Anies Baswedan soal ‘gagasan-narasi-karya’ itu. Narasi yang tidak jatuh dalam ‘cangkeman’ doang karena didukung oleh gagasan yang kuat dan dieksekusi dalam karya. Konsistensi yang selalu dihidup-hidupi dengan eros[iii] inilah yang akan mengembangkan peradaban bersama, kecuali tentu bagi yang tidak pernah mau keluar dari kolam buthek dan merasa diri yang paling beradab.

Mempunyai gagasan dan narasi kuat soal pengembangan sumber daya manusia misalnya, tetapi lebih suka memakai karya bis listrik dari China dari pada mengembangkan potensi bangsa sendiri yang jelas-jelas mampu, itu juga masalah inkonsistensi, masalah ‘cangkeman’ itu. Dan masih banyak lagi contoh. Contoh virus ‘cangkeman-kerah-putih’ ini. *** (26-08-2019)

 

[i] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet.7

[ii] B. Herry-Priyono,Menggeledah Naluri, Perihal Ekonomi sebagai Kecelakaan Folsafat Politik, Dalam A. Setyo Wiboeo (ed), Manusia, Teka-teki yang Mencari Solusi, Kanisius, 2009,  hlm. 251

[iii] lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com

/215-Mak-Erot-Eros/

'Cangkeman-Kerah-Putih' yang Merusak

gallery/pinokio
gallery/cangkem homer