www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-08-2019

Tiga revolusi: revolusi pertanian, industri, dan informasi bukanlah revolusi yang saling kubur. Tentu revolusi informasi sebagai yang terakhir menjadi paling menarik, tetapi sebagai seorang pemimpin adalah fatal ketika hanya tenggelam dalam revolusi informasi tanpa mengelola dengan serius kedua revolusi sebelumnya. Terlebih dalam komunikasi publiknyapun seakan lebih menghayati pada soal jualan online, ’yunikan-yunikon’ dengan kemiskinan perspektif lainnya yang sangat nampak.

Revolusi pertanian yang membuat manusia kemudian menjadi lebih mampu menetap telah mengembangkan bermacam hal sejak berabad-abad lalu. Sebuah revolusi yang seakan tidak pernah selesai dalam romantika, dinamika, dan dialektikanya. Perkembangan dalam revolusi informasi mestinya akan memperkaya jalannya revolusi pertanian, sama seperti ketika revolusi industri berjalan. Denyut revolusi pertanian mestinya akan mendorong si-pembuat kebijakan mengembangkan sebuah visi soal kedaulatan pangan, lebih dari soal keamanan pangan. Kedaulatan pangan yang akan berbanding lurus dengan soal ketahanan nasional.

Revolusi industri yang berkembang menjadi semakin ‘padat teknologi’ itupun juga merupakan sebuah revolusi yang seakan tidak pernah selesai dalam romantika, dinamika, dan dialektikanya. Saran Prof. Soemitro Djojohadikusumo 33 tahun lalu yang membedakan antara tekhnologi maju (advanced technology), tekhnologi adaptif (adaptive technology) dan tekhnologi protektif (protective technology) kiranya perlu diperhatikan.[1] Bukan berarti kita tidak berusaha mengejar ketertinggalan terkait dengan perkembangan industri yang ‘di-booster’ oleh kemajuan revolusi informasi, tetapi si-pembuat kebijakan publik itu harus punya strategi yang komprehensif. Bicara berbusa-busa soal revolusi industri 4.0 tetapi ‘kecolongan’ soal Krakatau Steel dan industri semen misalnya, jelas kebijakan soal industri nasional nampak tidak punya strategi yang komprehensif. Atau lihatlah otak-atik-otak dan ketrampilan anak negeri yang sebenarnya menunggu dorongan kuat dari si-pembuat kebijakan publik, soal mobil listrik misalnya, justru yang ada di sekitar kekuasaan mengambil langkah ‘menerabas’ dengan ‘impor tekhnologi’ secara membabi buta. Lupa bahwa anak negeri-pun mempunyai kemampuan dan potensi yang menjanjikan. Suatu ‘kenikmatan’ dari yang sok-nasionalis itu yang ternyata tidak jauh dari soal impar-impor pangan.

Maka publik mestinya juga tidak boleh berhenti dalam mengawasi si-pembuat kebijakan publik. Ketika si-pembuat kebijakan publik itu nampak begitu demen-nya dengan toko-toko on-line, bahkan bermimpi ada fakultas toko on-line tetapi nampak gagap dalam ‘membela’ dan mengembangkan industri dan pertanian, maka ini perlu terus dikritisi. Bahkan kalau perlu dengan cara-cara yang menohok terus terang, siapa tahu dengan kata-kata halus sudah tidak mempan lagi. Republik ini terlalu berharga ketika ada di tangan kaum medioker. Maka jangan pernah lelah melakukan kontrol terhadap semua kebijakan dari si-pembuat kebijakan publik. Plonga-plongo selfa-selfi sudah saatnya dihentikan, bahkan jika itu dimaksudkan sebagai hiburan semata dari si-pembuat kebijakan publik ke publiknya. Hiburan? Kita tidak butuh itu! Dan janganlah menghina republik terus-menerus ... *** (13-08-2019)

 

[1] lihat juga https://www.pergerakankebangsaan.com/066-Revolusi-Industri-4-0-dan-Kita/

Membaca Tiga Revolusi

gallery/jokowi_i dont trust him anymore