www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-08-2019

Empatpuluh dua tahun lalu, Syedd Hussein Alatas, intelektual Malaysia kelahiran Bogor menerbitkan buku berjudul The Myth of the Lazy Native. Buku yang menyoroti ‘ideologi’ kaum penjajah yang meyakini bahwa yang dijajahnya itu adalah bangsa yang malas. Karena malas maka patutlah dijajah, di abad 16-20. Alatas membongkar bekerjanya ideologi tersebut. Bermacam etnis yang tersebar dari Philipina, Malaysia, dan Indonesia itulah yang dimaksud dengan bangsa dalam term lazy native tersebut.

Benarkah nenek-moyang kita adalah bangsa yang malas seperti klaim ideologis kaum penjajah itu? Dan ‘ke-malas-an’ itu menurun pada kita-kita sekarang ini? Tentu tidak, demikian kita mesti menjawab. Bukan karena sekedar ada perasaan tidak terima atas tuduhan itu, tetapi banyak kita lihat bagaimana orang-orang sekitar kita bekerja keras, ulet, dan tidak mudah menyerah. Tetapi mengapa kemiskinan masih banyak di sekitar kita, dan kemauan kerja keras itu sering tidak berbanding lurus dengan nasib yang menimpa? Maka dalam tulisan ini ‘diplesetkan’ judul buku Alatas itu menjadi the lazy elite. Lamanya penjajahan yang ternyata juga bisa begitu menghancurkan pembentukan elit-elit dalam masyarakat. Ketika rakyat bekerja keras, justru elit-elit membangun ‘struktur’ yang justru mempersempit maksimalnya hasil dari kerja keras rakyatnya.

Jika kita kembali melihat pendapat Arnold J. Toynbee mengenai bagaimana berkembangnya suatu peradaban, kita bisa melihat dari sisi lain soal Politik Etis di penghujung abad 19 dan awal-awal abad 20 di nusantara. Yaitu soal tantangan dan respon, dan peran minoritas kreatif. Peradaban akan berkembang dari respon masyarakat terhadap tantangan-tantangan. Cuma menurut Toynbee, tantangan yang terlalu besar justru mempunyai potensi menghancurkan peradaban. Ditemukannya beberapa hal terutama mesiu membuat kekuatan Eropa seperti tidak tertandingi ketika masuk nusantara. Maka penguasaan-pun terjadi. Strategi pecah-belah dan adu-domba tidak hanya berhasil dalam hal penguasaan, tetapi nampaknya juga berdampak dalam formasi kepemimpinan lokal, atau yang bisa dikatakan juga merupakan bagian penting dari adanya minoritas kreatif. Politik Etis secara tidak terduga ikut juga mempengaruhi formasi minoritas kreatif dan secara perlahan mampu melihat tantangan yang ada dalam diri penjajah sebagai hal yang bukannya tidak mampu dilawan lagi. Dengan mengenyam bermacam pendidikan yang dijalani juga oleh penjajahnya, dan dengan adanya keprihatinan yang mendalam atas penderitaan di kanan-kirinya serta menjadi pengalaman sendiri bagaimana dimarjinalkan dalam pergaulan, dan juga pergaulan yang semakin luas dengan bermacam rute, respon terhadap adanya penjajahan-pun menjadi semakin ‘berkualitas’. Respon yang perlahan juga mulai membuat banyak di-kanan-kiri menirunya. Terbangunnya kepemimpinan pasca Politik Etis ini beserta bermacam daya serapnya yang terfasilitasi dengan kemajuan teknologi terutama teknologi komunikasi yang ada sedikit banyak bisa sebagai cermin bagaimana formasi kepemimpinan sebelumnya mengalami tekanan yang luar biasa.

Asal bapak senang sudah muncul dalam bermacam tulisan bertahun lalu, berpuluh-puluh tahun lalu. Dan sekarang-pun sering masih kita dengar. Apakah politik pecah-belah dan adu-domba jaman penjajahan dulu ikut berkontribusi dalam merebaknya asal-bapak senang ini? Atau kalau mau secara jelas, sifat menjilat ini? Atau karena adanya sifat menjilat inilah yang membuat strategi pecah-belah dan adu-domba menjadi sangat berhasil? Tetapi apapun itu, ada satu yang bisa pelajari, ketika pecah-belah dan adu-domba merebak, disitulah juga ada lahan subur bagi kaum penjilat. Di satu sisi, bagi yang mengambil keuntungan dari pecah-belah dan adu-domba, para penjilat-lah mainan favoritnya.

Dalam ‘kebisingan’ dan jumpalitannya pecah-belah dan adu-domba serta terlalu banyak beredarnya kaum penjilat, jelas formasi kepemimpinan akan menjadi berliku , licin, dan banyak lubang jebakan. Terutama dimensi ‘gemblengan’ etis-nya. Untuk mengatakan yang benar adalah benar menjadi seakan memikul beban yang maha-berat. Atau dalam kata-kata Koentjaraningrat 45 tahun lalu, akhirnya banyaklah yang memilih sikap suka menerabas, mengabaikan mutu, dan jauh dari sikap bertanggung jawab yang kokoh, misalnya.

Berani mengatakan yang benar adalah benar merupakan sebuah keberanian moral, yang lawannya adalah kepengecutan moral (morality cowardice) yang akan mendorong pada satu sikap munafik. Jika kita mengikuti pandangan Machiavelli yang menurut Leo Strauss Machiavelli berpendapat bahwa orang lahir itu bukan dengan ber-keutamaan, dan maka dari itu soal keutamaan ini harus di-didik-kan. Jadi soal keberanian moral ini juga tidak lepas dari bagaimana soal moralitas ini dididikkan sejak kecil melalui keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tetapi ketika bicara soal masyarakat yang lebih luas, kiranya pendidikan orang-per-orang-nya itu perlu juga ‘kondisi sosial’ yang mendukung proses itu. Dan juga akan lebih baik jika didukung dengan keputusan politis yang tidak kontra-produktif tentunya. Masalahnya, keputusan politik apa akan diambil oleh elit-elit produk dari pecah-belah dan adu-domba yang merupakan ladang subur dari kaum penjilat itu? Seakan kita menemui lingkaran setan yang sedang digambar oleh yang selalu diuntungkan dalam situasi itu. Lingkaran setan yang sedang digambar oleh si-pemegang pakta dominasi.

Maka ‘the lazy elite’ dalam judul bukanlah pertama-tama soal malas bekerja, atau suka bermalas-malasan, tetapi kemalasan karena sudah begitu nyamannya dalam dunia ‘kepengecutan moral’ itu. Akankah perkembangan teknologi komunikasi sekarang ini mampu melahirkan elit-elit baru yang mampu memutus lingkaran setan itu? Nampaknya ini tergantung pada kita bersama, dan tidak oleh ‘pihak sana’. Karena ‘pihak sana’ akan terus mengembang-biakkan kaum penjilat ini. Lihatlah, seberapa banyak kita mengucap kemuakan pada sikap menjilat, dan bahkan tunjuk hidung kepada para penjilat-penjilat itu, tetap saja mereka tidak berhenti dalam aksi menjilatnya, dan banhkan muncul wajah-wajah baru kaum penjilat ini. Susah memang ... *** (12-08-2019)

The Myth of the Lazy Elite

gallery/pinokio2