www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

07-08-2019

Hasrat mengeruk melalui kong-ka-li-kong pat-gu-li-pat perburuan rente ugal-ugalan (rent seeking activities) dalam tubuh PLN dihadapi secara cerdas oleh Rizal Ramli (RR) saat menjabat Menko Perekonomian bertahun lalu.[1] Saat menjabat sebagai Menko Perekonomian itu, RR baru mengetahui bahwa hampir semua dari 27 kontrak Pembelian Listrik Swasta atau Public Private Partnership (PPP) sebelumnya ternyata dipenuhi praktik KKN dan mark-up sampai 7 sampai 12 sen dolar AS per KW. Padahal diseluruh dunia hanya 3 sen dolar AS.[2] Dan mengetahui bahwa jika masalah itu ditempuh melalui rute pengadilan arbitrase internasional maka hampir bisa dipastikan akan kalah, RR mengambil jalan lain.

RR dikatakan kemudian menghubungi rekan yang bekerja di Wall Street Journal dan melakukan serangkaian wawancara terkait ‘praktek gelap’ di tubuh PLN tersebut. Hasilnya? Beban utang PLN dari 85 milyar dollar AS turun menjadi 35 milyar dollar AS!

Nampak sekali bagaimana hasrat vs hasrat ‘dimainkan’ RR dengan cerdas. Hasrat mengeruk kekayaan yang sebesar-besarnya itu dilawan akan kemungkinan hancurnya hasrat akan nama baik, yang dalam dunia bisnis itu bisa juga berarti hancurnya hasrat untuk menumpuk kekayaan. Logika mafia kadang harus dilawan juga dengan logika mafia.

Dan logika mafia dalam manajeman kekuasaan-pun kiranya tidak jauh dari hal tersebut. Hasrat mengeruk kekayaan dengan bermacam laku ‘mbélgèdès’ itu ‘dimainkan’ melalui serangkaian penyanderaan. Hanya saja, kalau dalam kasus PLN di atas RR melakukan aksi-nya demi kepentingan rakyat banyak, demi selamatnya republik, yang terakhir ini adalah demi kekuasaan semata. Terlalu banyaknya ‘logika mafia’ inilah kiranya yang dominan mewarnai panas-dinginnya rapuh-kuatnya republik, logika ‘perlindungan’ yang didasari pada bergejolaknya hasrat gelap. ‘Hasrat gelap’ yang dengan sangat telanjang tanpa sungkan lagi meminggirkan cita-cita bersama dalam Proklamasi. “Perlindungan’ untuk dapat terus-menerus mengumbar hasrat gelap atau amannya bermacam hasrat gelap di masa lalu, sekarang, dan mungkin masa depan.

Kalau RR datang ke Wall Street Journal untuk kepentingan republik, maka yang lain akan mengancam datang ke media misalnya, membuka aib jika si-pemilik aib tidak nurut kayak bebek. Prinsip sama, hasrat vs hasrat, alasan dan tujuan berbeda jauh. Bahkan bertolak belakang. Outcome manejemen ‘politik skandal’ akan menjadi sangat berbeda di tangan seorang patriot dengan seorang begundal. Menjadi sangat berbeda di tangan seorang yang cerdas dengan seorang yang plonga-plongo atau seorang yang hanya jago dalam dunia ‘sok-sok-an’. Termasuk yang jago dalam aksi ‘sok-heran’ dan ‘sok-marah’ itu.

Salah satu yang mirip dengan rute hasrat vs hasrat a la RR ini adalah Russia pasca Yeltsin, sebuah era yang bagi banyak warga Russia saat itu menimbulkan pertaanyaan gundah: “Negara apa yang sedang kami miliki ini?” Putin menghadapi hasrat kaum oligark yang merebak di era Yeltsin dengan berani dan cerdas. Dan tentu juga didukung oleh badan intelijen yang patriotik dan loyal dalam mendukung upaya Putin menjinakkan liarnya hasrat kaum oligark, dan bukannya malah berpikir keras dalam ‘meng-obok-obok’ rakyatnya sendiri. *** (07-08-2019)

 

[1] https://ekbis.rmol.id/read/2019/08/06/398415/begini-cara-out-of-the-box-rizal-ramli-saat-menyelamatkan-pln

[2] Ibid

'Hasrat vs Hasrat' a la Rizal Ramli

gallery/pinokio2
gallery/rr