www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-08-2019

Bagian I: Senin Malam

Setelah membaca buku Saya Bermimpi Jadi Konglomerat-nya Kwik Kian Gie yang terbit pertama kalinya 26 tahun lalu, saya juga bermimpi malam harinya. Meski saya dokter tetapi mimpi bukan tentang pasien dan sekitarnya, tetapi tak jauh dari mimpi KKG, saya bermimpi jadi oligark.

Mimpi saya diawali dengan perbincangan saya dengan kawan dan mentor filsafat saya, IPN, di teras luar Perpustakaan STF Driyarkara dimana kuliah S2 saya tidak paripurna. Dalam mimpi kita diskusi soal rejim: monarki, aristokrasi/oligarki, dan demokrasi. Bukan pada ‘lompatan-lompatan’ sejarahnya, tetapi lebih pada yang sudah dibicarakan Polybius sekitar 200 tahun SM -jaman Yunani Kuno, dan diangkat serta diperluas oleh Antonio Negri dan Michael Hardt di tahun 2000 dalam Empire, yaitu soal mixed constitutions.

Dari Negri dan Hardt, seakan diingatkan lagi bahwa urusan (modern) kita ternyata tidak hanya soal rejim demokrasi, tetapi juga soal aristokrasi/oligarki (untuk selanjutnya disebut saja oligarki), dan rejim monarki. Sebagai seorang oligark dalam mimpi saya, maka saya harus sadar akan hal itu. Jika ada ‘surga dan neraka’ maka pilihan strategis saya adalah jualan makan dan minum di antaranya. Maka jika monarki sudah tidak bisa diharapkan untuk melindungi dan memfasilitasi gerak saya sebagai oligark maka saya akan mendekati demokrasi untuk mengganti monarki, tetapi sebaliknya, sejauh monarki bisa diharapkan efektif maka ia harus efektif pula dalam menghadapi kekuatan demokrasi. Untuk itu dalam mimpi saya, bagi kaum oligark, tulisan esei dari Leon Pinsker (1821-1891) dalam Auto-Emancipation (1882) yang diawali dengan kutipan dari Hillel the Elder (hidup 110 SM – 10 M) adalah salah satu batu penjuru utama, terutama kutipan tersebut:  “if I am not for myself, who will be for me? And if not now, when?”

Tetapi untuk hal di atas saya harus selalu sadar penuh bahwa itu tidak terjadi di ruang kosong, yaitu seperti disebut diatas, ada dalam bayang-bayang ke-monarkian dan demokrasi. Jika saya dan teman-teman membangun kekuatan militer misalnya, jelas akan head-to-head dengan logika monarki. Dan ini akan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup kaum oligark. Salah satu logika monarki yang penting adalah logika upeti untuk mendapatkan perlindungan darinya. Dan, mengapa tidak? Sejauh efektif memberikan perlindungan, soal upeti: okelah kalo begitu .... Bahkan untuk ‘kekaisaran’ di luar-pun upeti harus disiapkan jika ‘monarki lokal’ dilihat sebagai yang lemah untuk suatu perlindungan. Bermacam bentuk upeti, dari BUMM (Badan Usaha Milik Monarki), bermacam proyek, dan kalau perlu bahkan kedaulatan-pun akan di-upeti-kan demi perlindungan bagi kaum oligark.

Tapi segala upeti itu akan berakibat rejim demokrasi akan bereaksi. Dia akan membangun kekuatan melawan oligarki dan monarki yang berkolaborasi memeras si-demos, rakyat. Maka dalam mimpi, si-demos ini harus dilemahkan. Bisa dengan kekerasan, atau tipu-tipu. Atau disibukkan dengan gelar adu-domba. Tetapi yang utama adalah bagaimana siapapun yang dipilih untuk memimpin di rejim demokrasi ini harus terserap dalam ‘kandang oligark’. Itulah mengapa partai-politik harus diotak-atik, dan biaya politik harus dibuat mahal, dan semakin mahal. Fokus otak-atik partai ini adalah pada orang, yaitu sedapat mungkin partai dipimpin oleh ‘kaum medioker’ atau ‘yang bermasalah’. Sehingga ketika ia duduk di ‘meja para aristokrat’ ia akan mudah untuk didikte.

Dan tiba-tiba saja saya bangun. *** (04-08-2019)

Saya Bermimpi Jadi Oligark (I)

gallery/pinokio2