www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-07-2019

Jika kita mau menelisik lebih jauh bagaimana pendidikan dasar kita sungguh memprihatinkan, telisiklah sungguh-sungguh secara detail. Tentu sangat berguna juga melihat kondisi fisik bangunan sekolah, tetapi coba kita lihat lebih dalam lagi. Dan coba juga kita pelajari sungguh-sungguh soal tumbuh-kembang anak, tidak hanya soal pertumbuhan fisiknya, tetapi juga aspek psikologi, sosial dan bermacam lagi. Melakukan benchmarking lintas bangsa, lintas etnis, nampaknya juga akan banyak manfaatnya. Sandiaga Uno selama kampanye pilpres kemarin mengambil benchmark pendidikan dasar di Finlandia, dan tidak ada yang salah dengan itu. Jauh lebih baik dari pada si plonga-plongo. Selain itu kita harus jujur juga, tidak hanya soal kelebihan tetapi terutama terkait kekurangan-kekurangan kita.

Tetapi kadang evil tidak harus datang dari details, yang cetho wélo-wélo tepat di depan pelupuk mata dan sebesar gajah sekali-pun kadang si-evil ini dapat kita lihat juga. Dan kalau masih bicara pendidikan, selain bangunan fisik itu adalah soal guru honorer. Soal masalah guru honorer ini adalah masalah putusan politik, dan tidak yang lainnya. Masalah political will, kemauan politik. Segala ribut soal ‘rekonsiliasi’ akhir-akhir ini harus bisa kita maknai juga bahwa itu sebenarnya 50%-nya adalah soal guru honorer ini. Jika masalah guru honorer ini terselesaikan dengan benar dan produktif maka sebenarnya khalayak akan melihat bagaimana political will ini dapat menjadi background bermacam ‘rekonsiliasi’, siapapun yang akan terlibat. Alokasi 20% anggaran pendidikan dari APBN semestinya akan dengan mudah menyelesaikan ini. Apalagi sejak 2014 masalah ini sudah di’dendangkan’.

Menjadi guru adalah terhormat. Menghargai guru adalah menghargai masa depan,” demikian Anies Baswedan dalam unggahan facebooknya, 7 Juli 2019, terkait dengan Kongres XXII PGRI di Jakarta.[1] Memperjelas status dan kesejahteraan guru honorer pada khususnya, dan para guru pada umumnya adalah langkah pertama yang harus diambil. Langkah berikutnya adalah, bebaskan guru dari bermacam beban administrasi yang tidak terkait langsung pada pelaksanaan ke-profesiannya. Dan berikutnya adalah, lakukan program pendidikan berkelanjutan atau pelatihan-pelatihan dengan ruang-waktu yang cukup. Dan tempatkan ini pada tempatnya, bukan pertama-tama pada soal kenaikan pangkat, sertifikasi, dan bermacam lagi. Intinya adalah, kita harus sadar bahwa ‘ke-terhormat-an’ guru dan bagaimana ‘menghargai guru adalah menghargai masa depan’ itu benar-benar membutuhkan kondisi politis, teknis, dan sosial. Sehingga menjadi terhormat tidak hanya karena seorang guru, tetapi juga guru yang berkualitas tinggi. Tanpa keberanian dalam ‘mengelola’ masalah guru ini, janganlah kita bicara soal ‘rekonsiliasi’. Kalau toh mau dipaksakan, ‘rekonsiliasi’ sebenarnya adalah sebuah ‘rekonsiliasi faustian’. Mengapa harus berani? Karena jangka panjang ini akan berdampak pada kemampuan mengikis pakta dominasi kaum oligark-pemburu rente itu!

Kadang-kadang jika kita melihat secara teliti kertas ulangan umum anak-anak SD kita, kita kadang menemui soal-soal yang mbèlgèdès. Itupun kita belum bicara, apa iya anak-anak yang masih kecil-kecil kelas 1,2,3,4 misalnya, itu perlu ulangan umum. Perlukah ‘kenaikan kelas’? Mengapa tidak kita lihat dari hari-ke-hari saja, misalnya. Atau mengapa kita tidak berusaha untuk satu kelas maksimal 20-an anak misalnya, dan tiap kelasnya ditunggui 2 orang guru sehingga pendampingan anak-per-anaknya bisa optimal. Dan masih banyaaak lagi si-evil yang bisa kita temui jika kita bicara detail pelaksanaan pendidikan dasar di republik. Sekali lagi, ini sangat erat terkait dengan keputusan politik. Sayangnya, si-boneka kayu jelas tidak bisa membuat keputusan politik terkait pendidikan dasar yang sedang dibahas ini, karena ia serba terikat oleh tuan-nya, si-tuan yang sedang dominan di pakta dominasi. Atau si-tuan yang sedang ongkang-ongkang di luar sana.

Atau cobalah bagaimana terkait dengan meninggalnya sekitar 600-an petugas pemilihan dalam pemilu kemarin. ‘Cerdik-pandai’ dari universitas ternama di Jogjakarta itu, UGM singkatannya, dengan gagah berani berkata bla-bla-bla, karena sudah lintas disiplin, katanya, kata mereka si-cerdik-pandai dari UGM itu. Tentu kita bisa berkomentar (karena kita juga sudah bayar bermacam pajak) betapa mbèlgèdèsnya cerdik pandai dari UGM itu, yang terlibat dalam investigasi ‘lintas disiplin’ itu. Cerdik-pandai kayak begini mau bertarung di tingkat global? (Ha ... ha ... ha ... ha ... Pengin muntah? Sama!) Kenapa tidak di-investigasi secara detail? Takut si-evil-nya muncul?

Atau lihat bagaimana tim kerja dari pihak BPN yang dengan susah payah menampilkan bagaimana keaneh-anehan dalam daftar DPT pada pemilu lalu. Semestinya itu ditindak-lanjuti bersama detailnya bagaimana, tetapi kita lihat bersama, nyatanya tidak. KPU yang ‘terhormat’ itu takut si-evil akan muncul dari rute detail itu?

Tapi ada satu yang begitu senang akan detail, paling tidak yang terkait dengan bermacam potensi dalam olah ruang publik, yaitu bermacam informasi soal ‘skandal’. Apa yang biasa dimakan si A, dan seringnya makan dengan siapa? Jam berapa si B tidur? Dan kadang tidur dengan siapa? Soal uang dari sumber gelap? Dan banyaaak lagi hal detail terkait dengan list skandal ini. Yang akan dibuka di ruang publik jika bla-bla-bla. Bangsat!

Maka, benarlah apa yang ditulis Henning Mankel dalam The Man from Beijing, “There's no reality without battles and no future without fights.” *** (18-07-2019)

Catatan:

Judul tulisan The evil always comes from details diambil dari novel The Man from Beijing (2008) , karangan pengarang Swedia, Henning Mankell

 

[1] https://www.facebook.com/aniesbaswedan/posts/

2282184878485152?comment_id=2282233888480251&comment_tracking=

%7B%22tn%22%3A%22R%22%7D

'The Evil Always Comes From Details'

gallery/pinokio2