www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-07-2019

The idea of ‘the nation’, once extracted, like mollusc, from the apparently hard shell of the ‘nation-state’, emerges in distinctly wobbly shape,” demikian Eric J. Hobsbawm dalam Nations and Nationalism Since 1780. [1] Pertanyaannya adalah, cangkang negara-bangsa itu apakah kemudian dibayangkan a la Korea Utara? Tentu kita harus mempertimbangkan juga jawaban Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan AS (dulu) ketika ditanya Joseph S. Nye Jr. soal konsep ‘soft power’, yang dijawab Rumsfeld dengan singkat: “I don’t khow what ‘soft power’ is.”[2]

Tetapi yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa tidak akan ada negara tanpa bangsa. Tidak akan ada negara tanpa orang-orang yang menegara, dan dari itu saja sudah menunjukkan bahwa bernegara sebagai menegara itu adalah hal yang dinamis. Baik dinamika dalam negeri maupun sebagai interaksi dengan dinamika lingkungan sekitar. Maka soal adaptasi, inovasi adalah hal yang semestinya tidak akan berhenti dalam membentuk suatu bangsa, termasuk juga dinamikanya dalam menegara.

Salah satu cuitan dari Ariel Heryanto mungkin bisa kita jadikan awal refleksi: Ketika saya mencoba melamar kerja di beberapa universitas di beberapa benua tahun2 selanjutnya, pertanyaan mereka cuma satu “apa saja karya ilmiah kamu yang bersaing di tingkat global?” [3] Ariel sedang bercuit pengalamannya setelah meraih gelar Phd bertahun-tahun lalu. Kalau kita lihat lebih jauh lagi, yang mendahului hal ‘karya ilmiah’ dan ‘bersaing di tingkat global’ itu adalah kemampuan bahasa. Tidak hanya soal tata-bahasa, tetapi di balik itu adalah bangunan logika yang tersampaikan melalui bahasa. Lihat apa yang dikatakan oleh Drost, pelaku dan pengamat pendidikan, soal apa yang diharapkan universitas-universitas di Jerman terhadap calon-calon mahasiswanya, yaitu kematangan intelektual dan emosional, dan itu dapat dilihat dari kemampuan bernalar dan bertuturnya. Bernalar dan bertutur diperoleh dan dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa.[4]

Kita yang begitu majemuknya kiranya baik juga melihat pendapat Gordon W. Allport dalam Nature of Prejudice (1954) seperti dikutip pendapatnya oleh Amy Chua dalam buku terbarunya, Political Tribes (2019). “By looking at the racial integration of merchant marines, police departments, and housing projects, Allport found that face-to-face contact between members of different groups can dismantle prejudices, build common ground, and even change lives,” demikian ditulis Amy Chua.[5] Menurut Walter J. Ong, suara dalam modus komunikasi face-to-face akan punya kecenderungan mempersatukan, sedang penglihatan akan mempunyai kecenderungan memecah-belah. Media sosial misalnya, modus dominannya adalah ‘melihat’, dan jika kita tidak hati-hati juga akan mempunyai kecenderungan membelah yang kuat.

Jika kita melihat beberapa hal di atas, maka penting sekali paling tidak kita memaksimalkan, terutama sampai tamat SD dimana usia-usia tersebut anak sebenarnya belumlah mempunyai konsep ke-primordial-an, bermacam kesempatan dalam suasana face-to-face. Banyak materi pelajaran yang itu sebenarnya akan lebih mudah dipahami anak di usia yang lebih tua, dijejalkan pada anak-anak kita demi ‘hebatnya anak yang tahu banyak’. Keblingeran kronis yang tanpa disadari telah merampok harta karun yang ada, harta karun di era serba digital ini: kesempatan face-to-face, tatap-muka.

Atau justru kita memilih ini, misalnya? Pengenalan Lingkungan Sekolah pada siswa baru yang salah satunya, menurut Panglima TNI, adalah kegiatan upaca bendera dan latihan baris berbaris yang merupakan bentuk pembinaan nasionalisme paling mendasar bagi siswa.[6] *** (18-07-2019)

 

[1] Erik Hobsbawm, Nations and Nationalism since 1780, Cambridge University Press, 2000, hlm. 190

[2] Brian C. Schmidt, Realism and Facets of power in International Relations, dalam Felix Berenskoetter, MJ Williams (ed), Power in World Politics, Routledge, 2007, hlm. 62

[3] https://twitter.com/ariel_heryanto/status/

1151092183459516416

[4] https://www.pergerakankebangsaan.com/035-Belajar-Dari-Drost/

[5] Amy Chua, Political Tribes Group Instinct and The Fate of Nations, Penguin Books, 2019, hlm. 199

[6] https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/

2019/06/kemendikbud-gandeng-tni-membina-nasionalisme-siswahttps://www.kemdikbud.go.id/main/blog/

2019/06/kemendikbud-gandeng-tni-membina-nasionalisme-siswa

'Sok-nasionalis' yang 'Merusak'