www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-07-2019

Sudah lama kita tidak mendengar istilah ‘pembangunanisme’ tiba-tiba saja cuitan Fahri Hamzah terkait pidato Jokowi beberapa waktu lalu, menyinggung soal ‘pembangunanisme’ ini. [1] Pembangunan jelas tanpa di’glorifikasi’-pun akan dilakukan oleh setiap negara-bangsa. Pembangunan menjadi pembangunanisme adalah ketika semua nyaris dipinggirkan atas nama pembangunan. Dalam pembangunanisme narasi soal pembangunan tiba-tiba saja seolah menjadi sang-Leviathan baru yang menggantikan esensi bernegara.

Bagaimana dengan ‘investasi-isme’? Lihat apa yang dikatakan oleh Sri Mulyani seperti dikutip oleh Tempo.co: "Dulu ketika pemerintahan sangat otoriter, investasi datang. Begitu kita demokratis, kemampuan kita untuk membuat lingkungan investasi yang baik itu berkurang," kata Sri Mulyani, Selasa, 16 Juli 2019.[2] Gejala yang sudah mulai menggeliat.

Bagaimana dengan sekulerisme? Sekulerisme adalah suatu ideologi yang negatif, tidak mengakui dimensi-dimensi spiritual atau yang di-atas-materi serta pembuktian empiris eksperimental, dan karenanya juga sulit memahami dan mengakui kedudukan religiositas dan hal-hal lain yang di luar raihan pancaindera atau rasionalitas murni.[3]

Mangunwijaya dalam Daya Cipta dan Teknologi dalam Pertumbuhan Kebudayaan (1991) pada sub-bagian Iklim dan Tanah-Tumbuh Dunia Sains dan Teknologi menyebut beberapa catatan supaya iklim dan tanah-tumbuh dunia sains dan teknologi itu dapat semakin mekar. Salah satunya adalah jiwa yang sekuler. Menurut Mangunwijaya, jiwa sekuler tidak sama dengan sekulerisme. Jiwa sekuler sama artinya dengan jiwa yang medewasakan diri, jadi bermakna positif. Selanjutnya ditulis Mangun: “Manusia sekuler tidak harus ateis kecenderungannya, karena dia dapat melihat multidimensionalitas kemanusiaan yang utuh, dan dengan begitu ia mampu mengakui otonomi banyak dimensi penghayatan kehidupan di dalam matrix-thinking yang memungkinkan dia menjadi saintis tulen sekaligus, misalnya, manusia religius tulen juga – dengan otonomi masing-masing tanpa jiwa yang terbelah. Manusia sekuler tidak sulit menjadi manusia utuh atau seutuh mungkin. Manusia yang sekuleristik, penganut sekulerisme, sulit menjadi manusia utuh karena dimensi kehidupannya sempit atau bahkan hanya satu-tunggal, yakni rasionalitas.[4] *** (17-07-2019)

 

[1] https://twitter.com/Fahrihamzah/status

/1150597688888422400

[2] https://bisnis.tempo.co/amp/1225109/sri-mulyani-saat-pemerintah-sangat-otoriter-investasi-datang?view=ok&__twitter_impression=true

[3] Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca-Einstein, Kanisius, 2003, cet-5, hlm. 264

[4] Ibid

Pembangunanisme, Investasi-isme, Sekulerisme