www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-07-2019

Salah satu yang membuat Amerika mewujud sebagai kekuatan ekonomi dunia adalah bagaimana dipersiapkan dengan serius calon-calon ‘pemimpin’ dalam dunia bisnis mereka. Salah satunya bagaimana si-visible hand ini dipersiapkan dalam program-program studi MBA mereka di akhir abad 19 dan awal abad 20, jauh sebelum negara lain ikut membuka program tersebut. Tentu ini tidak terus menggantikan in-job-training, atau ‘bakat’ misalnya, tetapi jelas program itu akan mempercepat dan meluaskan horison pelaku. Intinya dalam tulisan ini adalah bagaimana keseriusan dalam mempersiapkan input ternyata bisa berdampak besar.

He [Machiavelli] tended to believe that a considerable increase in man’s inhumanity was the unintended but not surprising consequence of man’s aiming too high. Let us lower our goals so that we shall not be forced to commit any bestialities which are not evidently required for preservation of society and of freedom. Let us replace charity by calculation, by a kind of utilitarianism avant la lettre,” demikian sudut pandang soal Machiavellisme dari Leo Strauss dalam What Is Political Philosophy (1988, terbit pertama kali th.1959 –hlm. 44). Apa yang dikatakan oleh Leo Strauss ini jelas mempunyai dasar kuat setelah melakukan studi panjang sejarah perjalanan manusia. Tetapi kiranya inilah juga yang membuat krisis politik di republik ini semakin nyata, yaitu krisis ‘input’ dalam dunia politik.

Apa yang di depan mata misalnya, bisakah kita membayangkan jika ketua MPR yang sangat terhormat itu dipimpin oleh yang ada dalam bayang-bayang setumpuk uang dalam kardus di masa lalunya? Tidak hanya dia yang tersandera, tetapi juga republik dengan 250 juta orang di dalamnya. Dan aset republik ribuan triliun rupiah itu.Tersandera karena uang sejumlah ratusan juta itu! Atau lembaga terhormat lain, bisa-bisa tersandera karena masalah Mr. P dan Miss V yang rekaman gelar nafsu tak sahnya sudah ada di beberapa pihak, misalnya. Itu kita baru bicara soal segala nafsu perut ke bawah. Belum laku sok nasionalis-nya dan cupet-nya daya pikir serta miskinnya keutamaan. Atau bisa dikatakan, krisis politik di republik karena input-nya mengalami krisis.

Dari kutipan Leo Strauss kita bisa mereka-reka sumber krisis input ini, yaitu ketika ‘man’s aiming too high dan let us lower our goals’ dihayati sebagai sebuah pilihan, dan bukan ‘ketegangan’. Memilih ke ‘aiming too high’ dengan tidak mempunyai kemampuan mengelola ‘tujuan-antara’ yang lebih rendah bisa terjerumus pada laku demagog dengan segala konsekuensinya, sedang sebaliknya, terjerumus pada laku serba mbélgèdès, asyik menembak bukan ‘lower our goals’, tetapi lowest –dengan segala konsekuensinya juga. Hidup dalam ketegangan jelas tidak mengenakkan, tetapi inilah juga yang sebenarnya mengapa seorang pemimpin itu pasti jauh lebih sedikit jumlahnya dari yang dipimpinnya.

Kurang lebih satu dekade setelah What is Political Philosophy terbit, Thatcher di pertemuan Partai Konservatif berdiri dan membanting buku karangan Hayek di atas meja, sambil berucap lantang, ‘inilah yang kita percayai’ –dan seperti kita ketahui bersama, neoliberalisme-pun kemudian menjadi ideologi yang mengharu-biru-kan dunia. Mungkin apa yang diucap oleh Thatcher di atas tidaklah bisa serta merta ditabrakkan dengan kutipan pendapat Leo Strauss di atas, yaitu Thatcher ternyata sedang bicara ‘aiming too high’, misalnya. Pada halaman-halaman berikut dalam What is Political Philosophy, Strauss kemudian menyinggung juga Locke. “Locke took over the fundamental scheme of Hobbes and changed it only in one point. He realized that what man primarily needs for his self-preservation is less a gun than food, or more generally, property. Thus the desire for self-preservation turns into the desire for property, for acquisition, and the right to self-preservation become the right to unlimited acquisition,” demikian ditulis oleh Leo Strauss (What is ..., hlm. 49). Friedrich von Hayek, penulis buku yang dibanting Thatcher itu bisa dikatakan –dalam bahasa Strauss, hidup ketika Hitler mengambil posisi ‘aiming too high’. Dan Thatcher kelihatannya memang mengikuti salah satu gurunya itu, Leo Strauss, ia tidak sedang menembak ‘aiming too high’ tetapi ia yang sedang menembak tidak terlalu tinggi sebuah ‘lower’ goal: unlimited acquisition. Tetapi meski begitu tetaplah kita bisa bertanya, benarkah Thatcher tidak peduli akan tujuan yang lebih tinggi? Atau bagaimana dengan pembonceng-pembonceng yang menyamarkan tujuan sebenarnya yang mungkin itu jika dilihat dari kutipan Leo Strauss di atas, ‘terlalu tinggi’? *** (13-07-2019)

Politik di Republik dan Krisisnya