www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-07-2019

Persahabatan menurut Platon akan lebih terhayati jika melibatkan ‘pihak ketiga’, hal ‘baik’ yang menjadi perhatian bersama. Hal yang benar-benar ‘menggerakkan’ bersama. Demikian juga jika kita kemudian membayangkan, ke-tunggal-ika-an dari yang bhineka itu kiranya juga memerlukan ‘pihak ketiga’ sehingga betul-betul terhayati secara mendalam. Apa yang sebaiknya di-tumbuh-kembang-kan sebagai ‘pihak ketiga’ itu?

Dalam realitas politik, hal ‘pihak ketiga’ ini bisa menjadi rumit dan bisa dikatakan juga penuh pertarungan. Dan sangat mudah tergelincir dalam semata logika ‘kambing hitam’ dalam konteks segitiga hasrat-nya Rene Girard.[1] Juga sangat tergantung bagaimana melihat permasalahan, terkait dengan soal ‘dalam negeri’ dan ‘luar negeri’.[2] Hal ‘pihak ketiga’ ini juga sangat lekat dengan bangunan respon terhadap adanya tantangan, yang mana menurut  Arnold J. Toynbee adanya respon inilah yang akan mendorong berkembangnya peradaban. Terakhir, ‘pihak ketiga’ ini juga tidak lepas dari apa yang disebut McIntyre, ‘man is essentially a storytelling animal’.

Dari Machiavelli dan Thomas Hobbes kita juga bisa meraba kira-kira kemungkinan rasa atau taste ‘pihak ketiga’ yang muncul. Bagi Machiavelli, manusia lahir itu tidak membawa keutamaan, dia harus diajarkan soal keutamaan-keutamaan itu. Dinamika kemuliaan ‘istana’ atau si-pangeran salah satunya adalah untuk mengajarkan keutamaan-keutamaan itu. Kalau kita bicara taste kaum konservatif, paling tidak di AS sana, kiranya mirip. Dan benarlah Leo Strauss ketika ia mengatakan bahwa satu-satunya yang masih dipakai Machiavelli terkait dengan ‘paradigma’ kristianitas di Abad Pertengahan adalah propaganda. Propaganda bukan untuk mem-bully lawan atau mengolok-olok, tetapi untuk meyakinkan inilah yang benar dan mesti diikuti. Karena apa? Karena sekali lagi, manusia mesti diajarkan keutamaan-keutamaan itu. Karena ia lahir tanpa keutamaan. Di republik dalam praktek kita bisa menengok soal dinamika P4 di masa lalu. Atau tanda-tanda yang semakin menguat di jaman now, ketika Romo Benny Susetyo sebagai salah satu yang terlibat di ‘lembaga Pancasila’ itu mulai bicara soal radikalisme dan kemungkinan satu bentuk ‘litsus’ a la era P4. Tentu itu juga berarti bagaimana kedudukan sebagai si-‘pengajar-nilai’ dipertahankan, dan sekaligus juga bermacam kenikmatan 3G-nya (God, Glory, Gold) sebagai sang-dominator, terutama kenikmatan kekayaan. Kekuatan kekayaan yang sebagian bisa di daur ulang untuk mengkooptasi elit atau calon elit, dan tentu juga suara saat pemilihan. Itulah yang menurut Cardoso bisa disebut sebagai bagian dari ‘pakta dominasi’.

Thomas Hobbes lebih menitik beratkan soal ‘mempertahankan hidup’ –terutama dari sudut khalayak sebagai bagian pokok dari ‘the state of nature’ yang terus-terus menerus menghantui kelangsungan hidupnya. Dan untuk itu sebagai kelanjutannya maka akan mempunyai konsekuensi untuk mudah mempersoalkan hal keadilan atau ke-tidak-adil-an yang jelas akan berpengaruh pada kelangsungan hidupnya. Maka taste bangunan ‘pihak ketiga’-nya pun bisa sangat berbeda. *** (11-07-2019)

 

[1] Lihat juga https://www.pergerakankebangsaan.com/305-Dari-Angsa-Hitam-Ke-Kambing-Hitam/

[2] Lihat juga https://www.pergerakankebangsaan.com/238-Machiavelli-dan-Benteng-nya/

Bhineka Tunggal Ika & 'Pihak Ketiga'-nya