www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-06-2019

Melihat pemaparan Jazwar Koto sebagai saksi ahli di sidang Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu sungguh membanggakan. Kita seperti diajak untuk menghargai kekuatan pengetahuan sebagai salah satu unsur penting dalam mengembangkan hidup bersama. Semestinya perbantahan adalah pada level itu, tetapi sayangnya itu tidak terjadi terkait dengan kesaksian Jazwar Koto itu di Mahkamah Konstitusi tersebut. Artinya, argumentasi Jazwar Koto belum terbantahkan pada levelnya di sidang MK tersebut. Tetapi lihat apa yang dikatakan Komisioner KPU di luar sidang, seperti diberitakan Tempo.co, 26 Juni 2019, ‘Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengibaratkan perjalanan sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi (sidang MK), yang digelar dalam dua pekan belakangan, seperti menonton sinetron Mak Lampir atau Misteri Gunung Merapi. "Karena banyaknya isu siluman yang dimunculkan. Isu DPT siluman dan pemilih siluman selalu diangkat," ujar Wahyu dalam acara diskusi GMNI di bilangan Cikini, Jakarta pada Rabu, 26 Juni 2019.’[1] Lihat betapa jomplang-nya kapasitas anggota KPU itu dibandingkan Jazwar Koto. Mak Lampir? Misteri Gunung Merapi? Ndas-mu!

Kekuatan pengetahuan tidak hanya milik yang bergelar akademik saja, atau korporasi. Tetapi yang lebih penting adalah, bagaimana ia menjadi sebuah kekuatan yang betul-betul terdukung. Terdukung artinya, secara sosial khalayak mampu memberikan apresiasi dan terlibat dalam tingkatannya dalam gelar pengetahuan itu. Tidak hanya mampu mengapresiasi, tetapi juga mampu memberikan ‘hukuman’ bagi yang asal njeplak, seperti ungkapan anggota KPU yang terhormat itu yang ada dalam kutipan di atas. Sayangnya, asal njeplak-nya anggota KPU itu bukanlah yang pertama kita jumpai, tetapi berkali-kali terlontar dari para pejabat penyelenggara negara. Bingkai ‘era-post-truth’ ini kelihatannya sudah tidak sekedar bingkai, tetapi sudah menjadi semacam doktrin dimana ia bisa berlindung untuk tetap berhenti bermain-main di tingkat emosional saja. Menohok pribadi, menebar olok-olok, dan jauh dari kapasitas pengetahuan seperti yang dibeberkan oleh Jazwar Koto. Apa beda dari lontaran ‘Mak Lampir’ dengan ‘senior’nya ketika keranjingan teriak bocar-bocor itu? Atau berbagai respon dan penjelasan yang ‘ala-kadar’-nya? Kebetulan? Tidak-lah ...

Ketika berita soal terjebaknya anak-anak di gua dan terancam terendam banjir di Thailand sana beberapa waktu lalu, bermacam upaya penyelamatan tertayangkan baik melalui media mainstream maupun media sosial. Dan bagaimana sebuah peristiwa kemudian menumbuhkan rasa solidaritas bersama, terutama bagi rakyat Thailand pada khususnya. Bandingkan dengan penanganan tenggelamnya kapal di danau Toba. Bahkan terlontar kata-kata yang menusuk perasaan, ‘suruh nyelam sendiri’. Apa karena kita tidak ada duit? Tak ada peralatan?  Apapun itu kita tetap sah untuk menilai pemerintah dalam bersikap, dan kita patut curiga ada yang ingin dihindari oleh rejim: bangkitnya rasa solidaritas bersama.

Tiga kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan kekerasan, kekuatan uang, dan kekuatan pengetahuan, menurut Alvin Toffler. Tetapi jika kita lebarkan, kita juga bisa menyeiringkan dengan pendapat Platon, soal tripartit jiwa, akal, kebanggaan, dan nafsu. Kekuatan kekerasan sebenarnya bisa ditelisik pada tripartit jiwa Platon terkait dengan kebanggaan yang ada di dada. Bangkitnya rasa solidaritas bersama adalah juga terkait dengan tumbuhnya kebanggaan sebagai satu komunitas, sebagai satu bangsa. Inilah sebenarnya yang kita rasakan ketika kasus tenggelamnya kapal di danau Toba lalu itu nampak rejim ingin segera menutupnya dengan didirikan monumen. Selesai, kata mereka, dan berharap peristiwa ini tidak membangkitkan rasa solidaritas sebagai satu bangsa. Mengapa? Karena ketika rasa solidaritas bersama sebagai satu bangsa itu bangkit, ia menjadi tidak lagi mudah dikuasai atau dipecah belah. *** (26-06-2019)

 

[1] https://pilpres.tempo.co/read/1218405/kpu-ibaratkan-sidang-mk-seperti-nonton-sinetron-mak-lampir?utm_source=Digital%20Marketing&utm_medium

=Twitter&utm_campaign=Pilpres_Dinda

Tiga Kekuatan Dalam Tekanan

gallery/diskualifikasi