www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-06-2019

P3ARAI adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Anti-radikalisme dan Anti-intoleransi, hal yang mungkin sedang menggelayuti kalbu dan sanubari para orang-orang terhormat yang sedang duduk di ‘lembaga Pancasila’ itu. Atas nama Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan bermacam lagi, P3ARAI mungkin sedang dipersiapkan. Dengan segala ‘juklak’ dan ‘juknis’-nya. Jika Albert Camus masih hidup, mungkin ia akan gusar dengan kemungkinan sebuah ‘kejahatan-terencana’ sedang dipersiapkan.[1] Membangun logika sebuah story-telling tentang anti-radikalisme dan anti-intoleransi, dan kemudian bermetamorfosis menjadi sebuah doktrin, berikutnya adalah: berbagai kejahatan mendapatkan pembenaran-pembenarannya. Mulai dari mega-korupsi terkait dengan klaim kebutuhan mega-biaya untuk pelaksanaan ‘juklak-juknis’-nya, sampai dengan bermacam bentuk intimidasi, dan bahkan penghilangan hak seseorang.

Dimanapun dan sampai kapanpun, yang memilih untuk duduk di ujung paling ekstrem akan selalu ada. Baik ujung kiri maupun kanan. Masalahnya adalah, kenapa sampai yang dulu ada di tengah-tengah kedua ujung ekstrem itu –yang jumlahnya pasti lebih banyak, ada yang kemudian bergeser mendekat ke ujung-ujung. Bagi sementara orang-orang terhormat di ‘lembaga Pancasila’ itu, mungkin melihat bahwa ‘tarikan-ke-ujung’-lah masalahnya. Lupa bahwa selain ‘daya-tarik’, ada ‘daya dorong’ juga. Dan salah satu ‘daya-dorong’ terbesar itu adalah ke-tidak-adil-an.

Ketika ‘kotak’ Pandora dibuka, bermacam bencana dan kejahatan keluar. Tetapi ada yang keluar belakangan, dan itu adalah harapan. Bagi si Bung dan para pendahulu, di seberang jembatan emas adalah juga sebuah harapan. Sebuah janji. Dan (ber)janji, sebagai pulau kepastian di tengah samudera ketidakpastian, merupakan unsur manusiawi yang betapa pun tidak pastinya tetap memberi harapan untuk masa depan yang lebih baik.[2] Mempermainkan janji bisa dikatakan juga mempermainkan harapan. Dan ketika harapan dipermainkan itu bagai meninggalkan di tengah samudera ketidak-pastian, dan jangan salahkan jika kemudian mencari harapan-harapan lain.

Kenapa janji bisa dipermainkan? Sebetulnya mungkin saja ia tidak sedang mempermainkan janji, masalahnya itu janji kepada siapa? Mungkin janji pada pemilih-lah yang diingkari, yang dipermainankan, tetapi tidak pada ‘bandar’-nya. Inilah yang dimaksud sebagai ‘silent takeover’ oleh Noreena Hertz (2003), berbusa-busa soal Trisakti di depan khalayak misalnya, tapi kebijakan-kebijakannya neoliberal abis. Tidak hanya neoliberal, tetapi juga karpet merah bagi para pembonceng-pemboncengnya, para oligark-pemburu rente. Tali-temali yang bisa diringkas sebagai sebuah ‘pakta-dominasi’, dengan bermacam kepentingan yang semakin dirasa semakin terasa tidak jauh dari nuansa penjajahan jaman dulu, soal god, glory, dan gold.

Pakta dominasi yang mempermainkan harapan ini jelas ujungnya adalah sebuah ketidak-adilan. Maka jika yang terhormat yang duduk di ‘lembaga Pancasila’ ini otak-atik terus soal radikalisme tetapi tidak pernah sekali-pun bersuara keras terhadap ke-tidak-adil-an dalam bermacam dimensinya, sekali lagi kami sarankan: diam. Tidak usah banyak bacot! Sadar-atau-tidak, anda bisa jatuh pada awal sebuah ‘kejahatan-terencana’ bagi bangsa ini. Bangsa yang menjadi merdeka karena nyawa dan darah pendahulu. *** (25-06-2019)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/326-Kejahatan-Hasrat-dan-Kejahatan-Logika-1/ dan https://www.pergerakankebangsaan.com/327-Kejahatan-Hasrat-dan-Kejahatan-Logika-2/

[2] Adeline MT, Hannah Arendt  Seorang Pesimis? Dalam Jurnal Diskursus Th XXVI, No 1, Sept. 2002, , hlm. 131

P3ARAI