www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

24-06-2019

Jika ada buku ‘resources curse’ tentang Indonesia, mungkin judul Pendahuluan-nya adalah: ‘Hidup Boleh, Kuat Kagak’. Tentu kita realistis saja, Indonesia bukanlah yang terkaya akan sumber daya alam di planet ini, tetapi fakta-fakta kekayaan alam kita masihlah dapat membuat banyak pihak ‘ngiler’. Belum lagi letak geografis dan lain-lainnya. Intinya, sebagai sebuah negara, kita dianugerahi bermacam sumber daya yang jika itu dapat dikelola dengan baik, meski kita dari jumlah penduduk nomer 4 di dunia (setelah China, India, AS), sumber-sumber daya alam itu dapat menopang dan menjadi modal awal untuk berkembang.

Dalam Pendahuluan yang berjudul ‘Hidup Boleh, Kuat Kagak’ itu akan disinggung bab-per-bab-nya, dan Bab I adalah soal ‘hal-hal mendasar’. Masalah Krakatau Steel misalnya, adalah soal mampu-tidak-nya kita mengelola hal mendasar. Metalurgi, baik sebagai ilmu maupun pabrikan jelas merupakan hal mendasar dimana suatu bangsa akan membangun. Dan juga kemampuan dan pembiayaan soal riset. Yang bisa kita rasakan sehari-hari sebagai warga negara adalah soal pendidikan, dan sebaiknya bicara soal pendidikan kita mulai dari pendidikan dasar, setingkat SD dan SMP. Mengapa? Karena di sinilah sebenarnya diletakkan batu-batu pondasi bagi pendidikan-pendidikan selanjutnya. Dalam paradigma ‘Hidup Boleh, Kuat Kagak’, pendidikan akan disibukkan dengan gonta-ganti kurikulum, zonasi-zonisi, tak jauh dengan beberapa waktu lalu ketika pada sebuah pemilihan dilakukan pelatihan soal contreng-mencontreng yang sempat menggantikan modus coblosan. Artinya, tidak menukik sampai hal-hal mendasar.

Dalam pendidikan dasar, terlalu lama kita dimainkan bermacam ilusi tentang ‘anak-hebat-yang-tahu-bermacam-hal’, padahal ‘bermacam-hal’ itu akan lebih mudah dihayati oleh si anak pada usia-usia yang lebih tua. Intinya, beban berlebih itu telah menyita ruang-waktu-psikologis anak dalam mengembangkan diri sesuai dengan tingkat usia dan potensi-potensinya. Sudah banyak kritik soal ini, tetapi mengapa ‘keputusan-politik’ soal pendidikan dasar ini tidak bergeser dari tahun-ke-tahun? Itulah sebabnya sah-sah saja jika kita curiga ini merupakan bagian dari strategi ‘Hidup Boleh, Kuat Kagak’ itu. Di-‘bonsai’ pondasinya sejak di pendidikan dasarnya.

Dan hendaknya kita jangan pura-pura tidak tahu bahwa kekalahan Pangeran Diponegoro tidak hanya disebabkan oleh keunggulan senjata Jenderal de Kock. Ternyata semua raja dan hampir semua bupati di Jawa Tengah bagian selatan berlomba-lomba membantu Belanda mengalahkan pangeran dari Tegalrejo itu,” demikian ditulis Mangunwijaya dalam tulisan Realitas Pasca-Indonesia dan Pasca Einstein (1986). Kutipan ini dihadirkan untuk sebagai pengingat pentingnya sebuah proses dalam melahirkan seorang pemimpin. Apa yang semakin nampak bertahun terakhir adalah sebuah proses mediokerisasi pemimpin. Baik dari segi kapasitas, dan terutama sayangnya: etika.

Gilbert Clotaire Rapaille berhasil menjadikan minum kopi menjadi salah satu trend di Jepang padahal beratus tahun Jepang secara tradisi adalah minum teh. Caranya? Clotaire mulai dengan membiasakan rasa kopi di biskuit-biskuit, permen-permen, sehingga rasa kopi itu ter-imprint dalam kesadaran. Titik tolaknya adalah soal kode-kode kultural. Dan apakah kita tidak merasakan bagaimana segala ke-medioker-an dalam politik dimasukkan perlahan dalam kesadaran kita? Jungkir-balik, jumpalitan, kutu-loncat, omong tidak mutu, plonga-plongo, superfisial, level olok-olok, tukang nggedebus, dan bermacam lagi... Bangsat! *** (24-06-2019)

Hidup Boleh, Kuat Kagak