www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

21-06-2019

Albert Camus, seorang pemikir kelahiran Aljazair (Perancis), tumbuh sebagai seorang balita ditengah-tengah berkecamuknya Perang Dunia I. Ketika Perang Dunia II meletus, Camus berusia 26 tahun, termasuk juga ketika kekejaman Nazi merebak, ia-pun menyaksikannya dengan mata dewasa. Kematian-kematian seakan hadir begitu lekat dalam perjalanan hidup Camus menuju kekedewasaan, baik secara biologis, psikologis, maupun intelektual. Ketika hidup selalu terarah ke masa depan, tetapi mengapa justru yang disongsongnya adalah kematian? Inilah salah satu hal pokok yang ‘mengganggu’ Camus.

‘Kejahatan logika’ bagi Camus adalah salah satu bentuk ‘kepengecutan’ manusia dalam menghadapi ‘kematian di masa depan’, dengan menenggelamkan diri pada bermacam doktrin. Salah satu kemungkinannya adalah, membungkus bermacam kejahatan kemanusiaan dengan berbagai pembenaran atas nama bermacam doktrin itu. Mencari-cari pembenaran dan kemudian sadar atau tidak, berkembang seakan kebenaran telah menjadi miliknya, yang itu sebenarnya ia sedang melakukan pembantaian terhadap kebenaran itu sendiri. ‘Kejahatan logika’ adalah sebuah ‘kejahatan terencana’ juga. Bermacam story-telling ditebar yang lama-lama kemudian bermetamorfosis menjadi sebuah doktrin. Story-telling tentang ‘anti-radikalisme’ yang ditebar secara sporadis itu-pun bisa tidak luput bermetamorfosis menjadi sebuah doktrin ‘anti-radikalisme’ misalnya, dan justru –sadar atau tidak, telah menjadi semacam ‘radikalisme’ baru yang kemudian berfungsi sebagai tembok tebal-kokoh untuk menyembunyikan bermacam kejahatan. Dari mega-korupsi sampai dengan kejahatan demokrasi dalam sebuah pemilihan. Bagai mitos Sisifus, story telling yang di dorong ke atas itu dimaksudkan sebagai upaya memperbaiki hidup bersama, tetapi ketika ia semakin mendekati puncak justru ia bermetamorfosis menjadi sebuah doktrin kaku dengan segala akibatnya, dan akhirnya meluncurlah batu itu ke bawah lagi, dan justru merusak hidup bersama.

Jika kita adalah sebuah dinamika yang membangun bukitnya si Sisifus tersebut, maka kita sebaiknya tidak membiarkan si-Sisifus itu sendirian mendorong batu itu ke puncak bukit.

Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century, pada bagian Introduction memberikan judul salah satu bagiannya: From Marx to Kuznets, or Apocalypse to Fairy Tale.[i] Kurva Kuznets diperkenalkan sekitar pertengahan tahun 1950-an, tahun yang mungkin saja orang tua Piketty masih duduk di bangku SD. Dan beruntunglah di tahun 2014, ketika Piketty menerbitkan Capital, data-data sudah sangat tersedia untuk menilai apakah Kurva Kuznets itu valid atau dapat disimpulkan sekedar ‘fairy tale’. ’Dongeng’ yang lahir di sekitar puncak Perang Dingin. Dongeng yang me-nina-bobok-kan: pada suatu hari maka setelah kurva ketimpangan merangkak naik, nanti ketimpangan itu akan turun dan surga dimana ketimpangan itu akan terkikis habis dan ... ups, nampak bagai matahari menyingsing di pagi hari, keluar dari antara dua gunung yang menjulang tinggi.

Trickle down effect” pada masanya bagi sebagian orang berlaku layaknya sebuah doktrin. Atau ringannya, sebuah ‘strait-jacket’ ala Milton Friedman dalam The Lexus and the Olive Tree. Dia diajarkan soal itu dengan bermacam bla...bla...bla, dan akhirnya ia begitu meyakininya bahwa itulah yang paling benar untuk dijalankan. Jika kita sebagai bukit yang dinamis hilang daya kritisnya, ketika bola-batu ‘trickle down effect’ itu digelindingkan di atas kita, maka kita sebenarnya hanya bisa pasrah saja ketika ternyata nantinya yang kita jumpai adalah semakin menganganya ketimpangan. Maka, apapun batu yang akan digelindingkan dan didorong ke atas itu, kita mestinya jangan sampai kehilangan ‘sifat berontak’ kita. Pemberontakan yang dimulai dengan memaksimalkan kemampuan pikir dan hati, dan tanpa lelah membangun jaringan kekuatan sehingga mampu menegur si-Sisifus kapan harus berhenti atau melambatkan atau mengganti arah, atau bahkan mengganti batu-batu yang digelindingkan ke atas bukit. *** (21-06-2019)

 

[i] Thomas Piketty, Capital in the Twenty First Century, hlm. 11

'Kejahatan Hasrat' dan 'Kejahatan Logika" (2)