www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-06-2019

Pada pidato penyambutan menghormati Presiden Eduardo Santos, redaksi El Tiempo yang diusir dari Kolombia oleh penguasa saat itu, 7 Desember 1955, Albert Camus mengatakan bahwa, “kebebasan seseorang mencapai batas ketika mulai merambah daerah kebebasan orang lain. Tak seorangpun berhak atas kebebasan mutlak. Batas mulai dan berakhirnya kebebasan, saat hak dan kewajiban menyatu, disebut hukum.”[1] Selanjutnya ditulis Camus: “Bila orang-orang mengetahui kemampuan manusia, ia juga memahami bahwa bukan sosok manusianya yang perlu dilindungi, melainkan kemungkinan-kemungkinan yang terbuka karena potensinya itu. Atau dengan kata lain, kebebasannya.”[2]

Jadi ketika kita bicara hukum sebenarnya tidak sekedar bicara soal pasal-pasalnya saja, tetapi disitu ada juga hal yang esensial dalam hidup bersama, soal kebebasan. Justru hukum sebenarnya akan menjamin atau menjaga kebebasan dalam hidup bersama. Mempermainkan hukum bisa dikatakan juga mempermainkan kebebasan. Atau mempermainkan hidup bersama.

Camus juga menegaskan bahwa “kebebasan ditolak bukan karena hak-hak istimewanya, seperti yang banyak diduga orang, melainkan karena kewajiban-kewajibannya yang melelahkan. Sebaliknya, mereka yang tugas dan minatnya adalah menjamin segala hak dan kewajiban kebebasan, tahu bahwa untuk itu diperlukan usaha dan kewaspadaan tanpa henti. Dalam usaha dan kewaspadaan itu ada kebanggaan, tapi perlu juga kerendahan hati.[3]

Baik soal kebanggaan dan kerendahan hati ini lekat dengan, sebutlah keutamaan akan self-command. Soal tahu batas. Dalam Surat Kepada Seorang Teman dari Jerman, dalam surat pertama (1943), Camus bisa dikatakan mempersoalkan hal tahu batas ini, khususnya soal kebanggaan. Teman dari Jerman itu menulis surat untuk Camus: “Kebesaran negeriku tak ternilai harganya. Apa pun yang mempunyai andil bagi kebesaran itu sungguh hal yang baik. Dan di dunia tempat segalanya telah kehilangan makna, mereka yang beruntung mempunyai makna dalam menentukan nasib bangsa, seperti kami pemuda-pemudi Jerman, harus bersedia mengorbankan apa saja.[4] Camus tidak sepenuhnya setuju apa yang ditulis teman dari Jerman itu. Camus menulis: “Aku tak bisa percaya bahwa segala sesuatu harus dikorbankan demi satu tujuan. Ada hal-hal yang tidak bisa dikorbankan. Dan aku lebih senang mencintai negeriku dan tetap mencintai keadilan. Aku tidak ingin sembarang kebesaran, apalagi kebesaran yang lahir dari darah dan kepalsuan. Aku ingin negeriku besar dengan tetap memiliki keadilan.”[5] *** (13-06-2019)

 

[1] Albert Camus, Krisis Kebebasan, YOI, 1990, hlm. 23

[2] Ibid, hlm. 24

[3] Ibid, hlm. 21-22

[4] Ibid, hlm. 2

[5] Ibid

Saat Hukum Dipermainkan

gallery/camus