www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

11-06-2019

Janin manusia termasuk yang paling lama dalam kandungan, demikian juga masa pendampingan orang-tua. Tetapi volume otak manusialah termasuk yang paling besar di anatara spesies di muka bumi ini. Perdebatan nature-nurture mungkin belum ketemu pemenangnya, tetapi meski begitu banyak kesimpulan bahwa keduanya berpengaruh atas kualitas manusia dalam menjalani hidupnya. Bagaimana semua potensi itu terus ditumbuh-kembangkan telah ikut mewarnai sejarah panjang manusia.

Di balik semua akademi ada asumsi yang sama, manusia dengan segala kemampuannya. Sampai sekarang belumlah ada robot sebagai peserta didik dalam akademi. Mungkin hanya ‘robot pokemen’ saja di serial kartun. Hanya manusia. Yang membedakan akademi satu dengan yang lain adalah prosesnya. Proses yang dipandu oleh ‘dongeng’ yang dibangun. Jika ‘dongeng’ bercerita bahwa nantinya setelah lulus peserta didik bisa ini dan itu maka dicarilah proses-proses yang sesuai. Jika ‘dongeng’-nya lulusan tidak sekedar bisa melakukan ini-itu, proses-nya pun akan berbeda juga.

Pergeseran Abad Pertengahan ke modernitas di Eropa sana sekitar 500 tahun lalu adalah juga pergeseran soal cara pandang, dari kosmosentris kemudian ke teosentris, dan di Abad  Pertengahan bergeser ke antroposentris. Pada awal-awal modernitas, manusia yang sudah tergeser menjadi ‘pusat’ itu mulai berani menggunakan ‘otonomi’-nya memikirkan banyak hal (lagi). Mencari penjelas utama mengapa ini dan itu bisa berjalan atau terjadi, menjadi salah satu hasrat yang semakin meluas, yang memuncak pada Newton ketika ia menerbitkan Philosophie Naturalis Principia Mathematica di tahun 1687.

Ben Anderson mengintrodusir istilah ‘print-capitalism’ terkait dengan pengembangan mesin cetak logam oleh Guttenberg di tahun 1450-an, hampir 250-tahun sebelum Principia terbit. Di tahun-tahun pertama setelah penemuan mesin cetak sebagian besar cetakan di dominasi oleh cetakan Kitab Suci, Bible. Dan juga mulai banyak terjemahan di masing-masing bahasa. Mungkinkah ini yang juga mendorong Reformasi-nya Martin Luther di tahun 1517? Martin Luther memulai gerakan reformasi-nya dengan protes keras ketika banyak indulgensi, surat pengampunan dosa yang kemudian banyak dijual oleh hierarki gereja saat itu. Dan Martin Luther-pun kemudian banyak menulis dan diterbitkan setelah itu.

Tiga tahun sebelum Martin Luther memulai reformasi-nya, buku Machiavelli, The Prince diterbitkan di tahun 1513. Jika mau digolongkan, Machiavelli adalah seorang realis. Menulis traktat politik berdasar manusia apa adanya, paling tidak menurut dia. Dalam suasana gejolak akibat dari reformasi-nya Martin Luther serta mulai terbukanya bermacam pemahaman manusia ‘apa-adanya’ yang salah satunya dibuka oleh Machiavelli, serta ‘semangat’ pasca Abad Pertengahan, hampir 150 tahun setelah The Prince terbit, Thomas Hobbes menerbitkan Leviathan di tahun 1651. Hobbes pada dasarnya juga melakukan ‘glorifikasi’ kebebasan individu. Tidak hanya soal individu bebas saja yang dibidik Hobbes, tetapi juga apa sejatinya si-individu itu. Maka Bagian pertama dari empat bagian Hobbes memberikan judul Bab-nya: Of Man, lagi tentang manusia apa adanya. Gambaran muram dari manusia apa adanya itu menurut Hobbes mempunyai konsekuensi jika hidup bersama mau diselamatkan, yaitu harus mau membuat semacam perjanjian, sebuah kontrak sosial, dengan si-Leviathan yang akan memastikan kontrak sosial itu ditepati dua belah atau lebih dari pihak-pihak yang membuat perjanjian.

Nature hath made men so equal in the faculties of body and mind as that, though there be found one man sometimes manifestly stronger in body or of quicker mind than another, yet when all reckoned together the difference between man and man is not considerable as that one man can thereupon claim to himself any benefit to which another may not pretend as well as he. For as to the strength of body, the weakest has strength enough to kill the strongest, either by secret machination or by confederacy with others that are in the same danger with himself,”[1] demikian sedikit gambaran Hobbes tentang ‘muramnya’ gambaran manusia apa adanya itu.

Atau lihat kutipan berikut: “So that in the first place, I put for a general inclination of all mankind a perpetual and restless desire of power, that ceaseth only in death. And the cause of this is not always that a man hopes for a more intensive delight than he has already attained to, or that he cannot be content with a moderate power, but because he cannot assure the power and means to live well, which he hath present, without acquisition of more.[2] Atau meminjam kata-kata Mary Midgley dalam kolomnya di The Guardian tentang Leviathan-nya Thomas Hobes pada seri tulisan terakhir (25 Mei 2009): “Can we ride the Leviathan?” Pertanyaan yang menggoda terkait dengan passion soal power. Terlebih jika dalam satu situasi bisa-bisa saja seseorang atau sekelompok orang ada dalam keadaan seperti digambarkan oleh Hobbes di atas “for as to the strength of body, the weakest has strength enough to kill the strongest, either by secret machination or by confederacy with others that are in the same danger with himself.” Jadi, memang kadang ‘dongeng’-nya kemudian menuntut diperlukannya ‘akademi setan gundul’, sehingga bisa mahir mengolah, mengotak-atik yang salah satunya terkait dengan apa yang juga disinggung oleh Hobbes: “So that in the nature of man, we find three principal causes of quarel. First, competitive; secondly, diffidence; thirdly, glory. The first maketh men invade for gain; the second, for safety; and the third, for reputation.”[3] Kemahiran tidak hanya soal outcome dari pertanyaan : ”can we ride the Leviathan?” seperti disebut di atas, tetapi juga pertanyaan antaranya: “Dapatkan kita menelikung demokrasi?*** (11-06-2019)

 

[1] Thomas Hobbes, Leviathan, Andrew Crooke, Londong, 1651, hlm. 76

[2] Ibid, hlm. 61

[3] Ibid, hlm. 77

'Akademi Setan Gundul'