www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-05-2019

Tahun 2005, AL. Andang L. Binawan, Jesuit kelahiran Muntilan, menyunting sebuah buku berjudul “Demokratisasi Dalam Paroki, Mungkinkah?” (Kanisius, 2005). Tesis utama buku tersebut adalah sekitar pentingnya demokratisasi dalam gereja untuk meminimalkan penyalahgunaan wewenang para pejabat gereja. Demokrasi dalam Gereja Katolik? Pertanyaan yang menantang, termasuk bagi saya yang juga bagian dari umat.

Coba kita bayangkan ‘struktur’ Gereja Katolik dari Paus sampai dengan unit terkecil, ‘lingkungan’ (dulu di tempat lahir saya, Muntilan, disebut ‘kring’) dan juga tentunya keluarga-keluarga. Apa yang kemudian disebut sebagai ‘hierarki gereja’ adalah merupakan ‘axis mundi’ dinamika struktur Gereja Katolik. Menurut ajaran resmi Gereja, struktur hierarkis termasuk hakekat kehidupan Gereja juga. Struktur hierarkis Gereja terdiri dari dewan para Uskup dengan Paus sebagai kepalanya, dan para imam serta diakon sebagai pembantu uskup.[1]

Sekitar 200 tahun sebelum Yesus lahir, Polybius, seorang sejarahwan dan sekaligus juga terlibat dalam dinamika Kekaisaran Roma saat itu, menulis soal monarki, aristokrasi, dan demokrasi. Tetapi yang menarik dalam bahasan tulisan ini adalah imajinasi Polybius terkait dengan bukan soal monarki, aristokrasi, dan demokrasi sebagai entitas terpisah yang mengalami siklus, tetapi bagaimana ketiga hal itu bercampur jadi satu dalam satu dinamika. Bagaimana itu bisa bercampur menjadi satu dinamika?

Mari kita bayangkan Orde Baru yang bertahan 32 tahun itu. Orde Baru adalah sebuah monarki, aristokrasi, dan ‘demokrasi’ sekaligus. Sosok Pak Harto bisa dibayangkan sebagai representasi dari monarki, sebagai ‘penjaga’ utama republik. Dan siapa sebagai aristokratnya? Apa yang sering kita sebut sebagai oligark, itulah aristokrat utamanya, ditambah dengan para ketua atau elit partai dan korporasi-korporasi besar lainnya. Demokrasi sedikit banyak didorong oleh LSM, NGO, dan bermacam gerakan yang ada di masyarakat, dan tentu ada juga ‘pemilihan umum’.

Apa yang digambarkan sebagai dinamika Orde Baru seperti di atas, tidak jauh dari yang digambarkan oleh Antonio Negeri dan Michael Hardt dalam bukunya Empire (2000), terutama bagian Mixed Constitution, halaman 304 – 324. Yang diringkas oleh Gopal Balakrishnan dalam review Empire segera setelah terbit, dimana “US nuclear supremacy reprents the monarchial, the economic wealth of G7 and transnational corporations the aristocratic, and the internet the democratic principle.” (New Left Review 5, Sept. Oct. 2000, hlm. 147)

All significant concepts of the modern theory of state are secularized theological concepts,” demikian Carl Schmitt dalam Political Theology.[2] Bagi Negri dan Hardt, sekularisasi adalah sekedar dampak dari ditemukannya ‘manusia otonom’, atau (salah satu) dampak dari pergeseran dari theosentris a la Abad Pertengahan di Eropa sana ke antroposentris, di sekitar awal modernitas. Abad Pertengahan ketika Gereja (Katolik) juga disibukkan dengan ‘urusan-urusan duniawi’ ketika Paus juga sangat intens terlibat langsung dalam pemerintahan.

Jika kita kembali ke Orde Baru sebagai ‘little empire’, nampak jelas bagaimana Pak Harto kukuh dalam ‘logika monarki’-nya adalah tak jauh berbeda dengan yang pegang ‘nuclear supremacy’ dalam Empire-nya Negri dan Hardt. Dan ketika si pemegang ‘tombol-tombol nuklir’ itu semakin jauh dari jangkauan Pak Harto, maka ibaratnya sedang ‘menghitung hari’ saja. Dalam dunianya sendiri, logika si pemegang ‘tombol-tombol nuklir’  tidaklah mudah ditaklukkan oleh sembarang orang. Dalam dunianya, untuk pegang kendali atas ‘pemegang tombol-tombol nuklir’ ini memerlukan jalan panjang, dan dihayati sebagai ‘tukang kelahi’ yang menapak ‘jalan ksatria’, dan pasti tahap-demi-tahap. Tidak setiap orang dengan latar belakang tidak jelas terus bisa dengan serta-merta mengambil alih kendali atas ‘pemegang tombol-tombol nuklir’ ini. Bahkan jika itu dari kalangan sendiri, apalagi yang berasal dari luar. *** (25-05-2019)

 

[1] http://www.imankatolik.or.id/hierarki.html

[2] Carl Schmitt, Political Theology. Four Chapter on the Concept of Sovereigny, Trsl. by George Schwab, The MIT Press, 1988, hlm. 36

Empire, Polybius, Carl Schmitt, Negri-Hardt

gallery/empire