www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-05-2019

Bagi umat Katolik, termasuk saya, adalah menggembirakan bahwa di tahun 2004 muncul Nota Pastoral KWI dengan judul yang sangat menarik, Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa, Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya. Lima-belas tahun sudah berlalu tetapi tema yang diangkat masih menggelitik. Apalagi sekitar lima tahun lalu Romo Benny Susetyo Pr. menulis juga soal Revolusi Mental. Semakin menggelitik.

Berangkat dari situasi yang berkembang selama proses elektoral 2018-2019 ini, semakin nampak relevansi dan signifikasi tema besar yang diangkat KWI lima-belas tahun lalu itu, Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa. Atau dalam kacamata lain, mungkinkah kita merenung sebuah upaya memajukan-meningkatkan keadaban publik dengan paling tidak mencegah hal buruk atau bahkan terburuk menjadi habitus?

Setiap kali pemilihan maka soal jujur-adil selalu mengemuka. Yang sering kita lupakan bahwa dalam denyut pemilihan jur-dil itu selalu ada dalam ketegangan dengan pemilihan yang non-jur-dil. Dan kita hanya bisa maju dalam demokrasi salah satunya adalah dengan melawan yang non-jur-dil itu. Jika pemilihan yang non-jur-dil itu kita sebut sebagai yang buruk maka memajukan demokrasi bisa juga sebagai upaya tanpa lelah supaya yang non-jur-dil, yang buruk atau bahkan yang terburuk itu tidak menjadi sebuah habitus. Misal, bagaimana kita dengan upaya tanpa lelah supaya kecurangan itu tidak menjadi habitus, tidak menjadi gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak dan cara berelasi seseorang atau kelompok. Bukankah akan repot sekali jika kecurangan itu jadi gugus insting setiap kali pemilihan digelar?

Apa yang terjadi dengan adanya sederetan undang-undang, rambu-rambu, kebijakan-kebijakan, badan pengawas, apakah yang jur-dil itu menjadi serta merta mewujud? Kelihatannya tidak, sebab segala kebijakan dan badan penyelenggara dan pengawas itu senyatanya masih memerlukan manusia-manusia yang menjalankan. Manusia-manusia yang memiliki hasrat yang bermacam. Hasrat yang tidak hanya diam tetapi selalu bergejolak. Maka yang bisa ber-jur-dil itu hanyalah manusia, demikian juga yang non-jur-dil. Yang mau menaati peraturan itu juga hanya manusia, demikian juga yang inginnya menelikung aturan, ya manusia. Maka ceritanya tidak lain sebenarnya adalah, manusia vs manusia, atau kalau lebih spesifik lagi adalah hasrat vs hasrat. Tidak ada kemungkinan lain. Manusia yang inginnya kecurangan menjadi habitus melawan manusia yang ingin kecurangan tidak menjadi habitus.

Tetapi manusia membangun peradaban, manusia membangun keadaban publik sebagai soko guru rumah bersama. Dan meminjam Heidegger, itu berarti manusia akan memaksimalkan bahasa karena bahasa adalah juga rumah manusia. Yang kita khawatirkan adalah, ketika bahasa tidak bisa menjadi cukup dalam ranah hasrat vs hasrat itu. Kita khawatir keadaban publik akan semakin jauh dari jangkauan. Terlebih lagi ketika banyak tokoh memilih diam seribu bahasa. Apapun alasannya. *** (12-05-2019)

Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa,

 

Keadilan Bagi Pemilih Dalam Pemilihan