www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-04-2019

Infiltrasi, eksploitasi, adu domba, cuci otak, penguasaan/invasi adalah bagian dari Perang Modern. Soal infiltrasi yang gampang saja misalnya, ada yang dulu membela tetapi sekarang melawan, bahkan melawan dengan berapi-api. Entah apa yang kemudian menjadikan ia terus melawan kita tidak tahu persis, tetapi kita mestinya akan langsung paham jika ada yang mengatakan bahwa itu kemungkinan bagian dari infiltrasi. Eksploitasi bermacam tema yang akan membangun opini tertentu bisa kita temukan dengan mudah. Macam-macam tema. Adu domba? Apalagi yang satu ini, sangat mudah kita rasakan wujud dan baunya! Cuci otak? Lihat bagaimana glorifikasi quick-count dari kamar sebelah itu. Tentu beserta keseiringannya dengan real-count dan dukungan tanpa habis dari media mainstream. Penguasaan? Inilah yang sedang berproses menunggu waktu yang tepat.

Bagi Machiavelli dalam The Prince (Sang Penguasa), “raja yang merasa lebih takut terhadap rakyat sendiri daripada serangan bangsa asing sebaiknya membangun benteng. Tetapi raja yang merasa takut terhadap serangan musuh asing daripada rakyatnya sendiri tidak usah memusingkan soal benteng.”[1] Maka semestinya Perang Modern itu terutama adalah untuk menghadapi kemungkinan serangan asing dalam rangka “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”[2] Bukan di-otak-atik justru terutama untuk menghadapi rakyat sendiri.

Tentu dalam persaingan pemilihan misalnya, akan melibatkan bermacam taktik-strategi. Tetapi merancang ‘infiltrasi’? Merancang eksploitasi? Melaksanakan adu-domba? Merancang langkah cuci-otak? Ya, dan mungkin itu bisa menjadi bagian dari taktik-strategi, mengapa tidak? Maka sebenarnya yang membedakan adalah soal ‘tahu-batas’ atau ‘tidak-tahu-batas’. Lalu batas apa yang mesti perlu diperhatikan? Pada titik inilah sebenarnya akan terbedakan apakah yang sedang beredar itu seorang patriot atau tidak. Kecintaan pada negeri itulah yang akan membedakan satu dengan yang lain. Patriotisme terkait dengan kecintaan akan bangsa dan negaranya, dan dengan itu pula ia tidak akan pernah mempertaruhkan republik.

Maka jelas ini akan mengandaikan satu bentuk ‘kecerdasan’ tertentu. Suatu kemampuan imajinasi, membayangkan sebuah batas yang tidak boleh diterabas. Hanya yang mampu mengimajinasikan sebuah batas-lah sebenarnya kemajuan itu dimungkinkan. Ketika sebuah pemilihan sebagai salah satu bentuk operasional demokrasi digelar seakan tanpa batas, maka orang akan cenderung serba menggampangkan. Atau meminjam sinyalir dari Koentjaraningrat di awal dekade 1970-an, mutu akan dengan mudah diremehkan. Mentalitas suka menerabas-pun seakan akan memperoleh habitat nyamannya. Menang dengan kecerdasan-pun semakin terpinggirkan. Menang dengan segala kelicikan menjadi perlahan mendekat ke episentrum dinamika politik. Dan yang hadir kemudian adalah satu bentuk ‘demokrasi pokrol bambu’.

Maka kemungkinan lanjutan kemudian adalah taktik-strategi ‘berbasis waktu’, dimana waktu diulur dan diperhitungkan semata untuk menjaga sampai pada momentum output yang sudah dipersiapkan, yaitu ‘penguasaan’ atau ‘invasi’. Dan kemudian segala input dan proses semata dirancang untuk itu. Input yang tidak boleh diverifikasi pihak lain, semau-maunya sendiri. Dan proses yang kemudian disesaki oleh eksploitasi, adu-domba, dan cuci-otak yang seakan tanpa batas lagi demi ‘mengamankan’ momentum ‘penguasaan’. Tidak pernah terlintas apa itu yang namanya ‘social cost’, dan bahkan juga ‘human cost’ yang harus ditanggung republik. Semua semata demi momentum ‘penguasaan’. Dan momen itu di 22 Mei 2019, menurut ‘mereka’. Tentu saja akan ada ‘paket’ pengamannya juga. *** (27-04-2019)

 

[1] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/238-Machiavelli-dan-Benteng-nya/

[2] Lihat Pembukaan UUD 1945 alinea 4

Adu Domba, Cuci Otak dan Penguasaan