www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-04-2019

Bayangkan jika mesin cetak Gutenberg tidak ditemukan pada massanya, akankah penyebaran pengetahuan akan begitu merebaknya? Dan apa dampak dari menyebarnya pengetahuan itu? Dampak ketika berbagai sudut pandang dapat lebih diakses oleh kebanyakan orang? Dan tidak lagi menjadi monopolinya gereja dan biaranya serta universitas-universitas di daratan Eropa sana pada saat itu? Boleh dibilang adanya mesin cetak telah mendorong salah satu hakekat pengetahuan yang kadang kita lupakan, ia adalah salah satu bentuk paling ‘demokratis’ yang ada. Artinya sebenarnya siapapun bisa mengakses pengetahuan itu.

Ketika yang berpengetahuan itu semakin banyak maka seakan ia menjadi ‘gudang mesiu’ yang ada di ‘bangunan atas’ dalam terminologi Marx, dan siap menangkap ketika ada gejolak di ‘bangunan bawah’. Dan dengan itu ia bisa sangat membantu dalam mengurai kemandegan pembagian kekayaan dengan ikut memaksakan perubahan-perubahan di hubungan-hubungan produksi. Atau dalam kata-kata Lenin, tidak ada revolusi tanpa teori revolusioner.

Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan merebaknya Revolusi Industri, semakin berkembang pula apa yang disebut Alvin Toffler sebagi modus komunikasi man-to-mass. Bertutur-turut bisa dibayangkan, modus komunikasi man-to-mass itu contohnya adalah surat kabar, radio,dan terutama televisi. Di era Revolusi Pertanian, modus komunikasi didominasi oleh man-to-man, atau face-to-face. Sebelum mesin cetak Gutenberg, eranya adalah era manuskrip jika dilihat dari media penyebaran informasinya. Sehingga sungguh terbatas penyebaran pengetahuannya. Mengapa kita membahas beberapa hal ini sekarang ini?

Pasca pelaksanaan coblosan pemilu 17 April 2019 ini ternyata masih sangat terasa bagaimana adanya head-to-head antara kekuatan modus komunikasi man-to-mass dengan mass-to-mass. Modus komunikasi mass-to-mass ini oleh Alvin Toffler dalam Powershift (1990) dikatakan berkembang pesat ketika yang serba (digital)-internet ini semakin merebak. Contoh paling aktual sekarang ini adalah berkembangnya media sosial.

Seorang seniman pasti akan berbeda penghayatan terhadap Gunung Merapi misalnya, dengan penghayatan seorang ahli geologi. Atau penghayatan seorang wisatawan. Atau penghayatan seorang petani di sekitar gunung Merapi. Atau yang melihat Gunung Merapi dari arah Kaliurang dengan yang dari Boyolali. Bermacam subyektifitas dari bermacam khalayak itu dengan media sosial seakan terjembatani untuk saling dikomunikasikan. Yang mungkin saja ketika sama-sama meniti jembatan itu, tiba-tiba saja hal yang dilihatnya menjadi sangat berbeda dari yang disampaikan oleh media-media man-to-mass. Inilah mungkin yang dimaksud oleh Noam Chomsky terkait dengan politik khususnya gelar demokrasi, jauh sebelum media sosial ada, yaitu keadaan akan tetap tak berubah jika orang tidak punya kesempatan untuk tahu sentimen orang lain. Tetapi dengan adanya media sosial? Orang menjadi banyak kesempatan untuk tahu sentimen orang lain! Dan potensi perubahan-pun menjadi semakin membesar.

Tentu media sosial ada ‘sisi-gelap’-nya juga, yaitu ketika subyektifitas itu berhenti lebih pada aspek emosional saja, atau tidak terus berkembang dalam sebuah kesadaran kritis.[1] Di sinilah bisa berkembang sebuah fanatisme. Keterbelahan akibat pemilihan ketika Hillary vs Trump di AS sana beberapa waktu lalu ditengarai juga akibat ‘sisi-gelap’ media sosial ini. Tetapi lepas dari ‘sisi-gelap’ itu, terlalu banyak hal positif dari media sosial ini sehingga tetaplah kita harus bersyukur atas perkembangan ini.

Mengapa kita harus bersyukur? Selain kita bisa mempunyai kemampuan dalam meloloskan diri dari terkaman propaganda atau pembingkaian dari modus komunikasi man-to-mass, kita juga mampu meminimalisir terkaman dari sebuah ‘gertakan’.

Politik dalam modus komunikasi man-to-mass, dan juga sebenarnya man-to-man bisa sangat lekat dengan gertak. Tentu kualitas gertak akan sangat bervariasi, dari yang gertak-sambal serba ndèk-ndèk-an sampai yang halus tapi mematikan. Tetapi apapun itu, modus komunikasi mass-to-mass ini dapat membantu kita untuk meloloskan diri dari gertakan itu. Kita menjadi semakin mampu ‘menguliti’ lapis-demi-lapis dengan bantuan subyektifitas dari yang lain, apa sebenarnya atau di belakang gertak itu.

Dan gertak itu kalau kita mengambil contoh situasi aktual politik sekarang ini, semakin nampak bagaimana itu dimainkan dalam modus komunikasi man-to-mass. Sekali lagi, di luar ‘sisi-gelap’ media sosial, dengan media sosial sebagai bagian penting dari modus komunikasi mass-to-mass kita bisa mengusahakan untuk lolos dari terkaman gertakan itu. Apalagi jika yang kita share didukung oleh bukti-bukti obyektif, kita tidak hanya mampu meloloskan diri dari terkaman gertak, tetapi sekaligus mampu ‘menguliti’ lapis-demi-lapis apa yang sebenarnya ada di belakang gertak modus man-to-mass itu. *** (17-04-2019)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/154-Manipulasi-Di-Tiga-Lapangan-2/

Man-to-mass vs Mass-to-mass

gallery/toffler
gallery/prabowo kampanye