www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

13-04-2019

Politik adalah masalah power, masalah kekuasaan, dan perebutannya telah terjinakkan dengan konstruksi tanpa lelah dari manusia: demokrasi. Demokrasi semakin berkembang didasarkan pada perkembangan dari ‘temuan’ paling menakjubkan dalam sejarah manusia: bahasa. Bahkan Hannah Arendt juga menegaskan bahwa politik tidak pernah lepas dari bahasa dalam modus komunikasi. Pemakaian bahasa dalam komunikasi di ranah politik bisa kita bedakan paling tidak yang mewujud sebagai retorika atau eristik(a).

Retorika sebaiknya jangan langsung di-head-to-head-kan dengan apa yang sering kita dengar sebagai kerja, kerja, kerja. Nuansa terkait dengan retorika dalam head-to-head ini kadang sudah terlanjur masuk nuansa ‘pembunuhan-karakter’-nya, yaitu sebagai yang ‘omong doang’. Padahal retorika mempunyai makna jauh lebih dalam dari sekedar omong doang itu, seperti dikatakan Y.B. Mangunwijaya, dalam artikel “Pendidikan Manusia Merdeka” (Kompas, 11 Agustus 1992):

“Pengertian retorika biasanya kita anggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan”[i]

Bahkan Romo Mangun juga menandaskan bahwa “kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa.Yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika.”[ii] Platon yang hidup dalam era ‘merekah-nya’ pendidikan bahasa ini-pun menulis tentang retorika.

Athena abad ke-4 SM menyaksikan penetrasi retorika dan sofisme.[iii] Pada abad ini, retorika merupakan ‘seni berbahasa’ untuk membela suatu kasus maupun mencari posisi politik. Bagi Platon, retorika seharusnya bukan sekedar alat untuk memenangkan debat. Retorika adalah ‘seni untuk memengaruhi jiwa-jiwa’.[iv]

Eristikos berasal dari akar kata eris yang artinya “peperangan, pertempuran, pergulatan”. Orang eristik / pokrol adalah orang yang sangat lihai bersilat lidah. Platon menolak dialektika eristik karena model ini hanya “menolak sebuah argumen demi penolakan itu sendiri”.[v]

Dapat dilihat dari beberapa hal di atas bahwa baik retorika maupun eristik adalah sama-sama ada dalam dunia komunikasi. Dunia dimana politik semestinya menyandarkan diri. Dan kita sungguh berterimakasih dengan kemajuan media komunikasi dimana dengan itu pula kita tidak hanya berdiri sebagai ‘korban-pasif’ kerasnya propaganda, tetapi menjadi lebih mampu menghayati apa yang tersebar dalam komunikasi itu dengan lebih mendalam. ‘Sisi aktif’ kita mendapat ruang lebih. ruang lebih yang memungkinkan juga sisi aktif kemudian bertemu dengan sisi aktif - sisi aktif yang lain. Dan dengan itu pula kita bisa lebih mampu untuk memilah mana yang betul-betul hadir sebagai retorika yang ‘menyapa jiwa’ atau satu bentuk dialektika eristik yang cenderung ‘pokrol bambu’. Bermacam bentuk kedalaman yang perlahan semakin dapat terbedakan dengan ungkapan ‘pokrol bambu’ misal : ‘pala lo péyang’ itu. Atau argumentasi pokrol lainnya.

Maka pemilihan 2019 ini semestinya tidak hanya akan berhenti untuk merayakan ‘akal-sehat’ saja, tetapi harus kita sadari bersama kita telah masuk ke-level-yang-lebih tinggi. Penyandang sindrom LRKB (Lapar Resek Kenyang Bego)[vi] itu mesti harus tahu diri untuk minggir. Termasuk juga rejim ona-anu-ona-anu ini.*** (13-04-2019)

 

[i] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet.7

[ii] Ibid

[iii] Setyo Wibowo, Mari Berbincang Bersama Plato, Persahabatan (Lysis), Indonesia Publishing, 2009, hlm. 84

[iv] Ibid

[v] Ibid, hlm. 101-102

[vi] lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/208-Lapar-Resek-Kenyang-Bego/

Politik dan "Retorika- Eristika"-nya

gallery/prabowo kampanye