www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-04-2019

Bagi Adam Smith simpati (atau ungkapan sekarang empati) memegang peran penting dalam tatanan transaksi ekonomi. Dan imajinasi memegang peran penting dalam simpati ini, karena dalam ber-simpati ia akan membayangkan bagaimana jika ia dalam posisi ‘yang lain’ itu? Selain itu, simpati yang berulang akan ‘mendidik’ orang akan ‘batas’, ‘batas-batas’ yang akan berperan dalam tertibnya sebuah tatanan.

Maka pasar menurut Adam Smith tidak lepas dari adanya bayang-bayang simpati ini. Meski dalam perkembangannya banyak yang ‘membengkokkan’ pasar ini menjadi lepas dengan hidup bersama secara keseluruhan, Adam Smith tidaklah begitu. Ketika simpati tidak berkembang terutama dalam ranah kepemimpinan misalnya, maka bisa dikatakan itu dapat akan mempengaruhi bagaimana esensi pasar akan terdistorsi. Sebaliknya jika pasar dibiarkan lepas bebas dari hidup bersama dan membabi-buta atas klaimnya sebagai self regulating market, ia akan menjadi ‘terlalu serakah’ dan semakin jauh dari esensinya. Apa sebenarnya esensi dari pasar itu? Pasar lebih dari sekedar gejolak transaksi saja, tetapi ia salah satu hal penting bagaimana “distribusi atau ‘pembagian’ kekayaan / kesejahteraan” itu dapat dilaksanakan. Maka penting bagi siapapun, terutama si-pemangku kebijakan untuk merawat pasar ini sehingga khalayak bisa menggunakan sebagai tempat mengusahakan kesejahteraannya. Tentu republik sesuai dengan amanat konstitusi ia-pun wajib mengusahakan dalam memajukan kesejahteraan umum.[1]

Tulisan ini tidak mengulas bagaimana masalah hubungan antara pasar (market) dan negara (state), tetapi lebih pada ‘kualifikasi’ yang duduk di ranah negara sehingga pasar bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan, yaitu sebagai salah satu cara dalam ‘membagi kesejahteraan’. Mengapa kualifikasi ini penting? Karena ketika kita menerima pasar sebagai salah satu hal penting dalam distribusi kekayaan, si-pemegang power bisa berperan sebagai yang berwajah ganda, ia bisa mendorong ke arah baik bagi kesejahteraan umum atau malah merusaknya.

Dari hal-hal ‘kecil’ kita dapat menilai bagaimana kualitas si-pemegang kekuasaan itu, terlebih ketika kita bicara soal pasar. Dan hal ‘kecil’ itu adalah soal simpati seperti disebut di atas. Bagaimana si-pemegang kekuasaan ini menghayati soal simpati ini. Cobalah kita bayangkan di waktu-waktu dekat pemilihan umum di republik yang selalu saja peka akan money politics, seorang Menko datang pada seorang pemuka agama dan menyerahkan amplop di depan publik! Apakah si-Menko ini tidak mampu membayangkan bagaimana jika ia ada dalam posisi si-pemuka agama itu? Tentu ada yang akan mengatakan itu lumrah, tradisi, atau apalah. Tetapi apakah si-Menko itu tidak bisa membayangkan soal konteks? Konteks sehingga ia menjadi terdorong untuk menjaga martabat yang lain dengan tidak memberikan amplop di depan publik?

Atau coba kita lihat lagi soal berulangnya ‘ngibul’ di depan khalayak yang dilakukan atasan si-Menko itu. Apakah ia tidak mampu membayangkan bagaimana rasanya dikibuli berulang-ulang itu? Atau apakah ia tidak mampu membayangkan, meluaskan imajinasinya, ketika ada janji tetapi kemudian tidak ditepati? Atau membayangkan perasaan para korban bencana ketika justru di tengah-tengah bencana ada seseorang mengambil kesempatan itu untuk selfa-selfi? Contoh-contoh ‘kecil’ ini tentu kita tidak akan ambil pusing ketika hal-hal tersebut dilakukan oleh ‘orang-orang biasa’. Dongkol, jelas. Tetapi jika itu dilakukan oleh si-pemegang kekuasaan? Atau juga ketika pembantu-pembantunya omong pedas kepada rakyat, apakah mereka tidak mampu mengimajinasikan bagaimana perasaan si rakyat ketika dikata-i dengan kata-kata pedas-menohok itu?

Jika bermacam hal-hal ‘kecil’ ini kita gunakan untuk ‘meraba’ karakter orang, dan ketika orang-orang itu adalah si-pemegang kekuasaan, maka sebenarnya kita juga bisa meraba apa sebenarnya ‘karakter-rejim’ yang sedang kita hadapi ini. Rejim yang bisa dikatakan sebagai rejim yang minim simpati. Maka menjadi tidak mengherankan pula jika kita akan menemui bermacam hal ‘distorsi’ pasar yang berasal dari si-pemegang kekuasaan. Ujungnya? Distribusi kesejahteraan itu akan ‘kesrimpet-srimpet’ jalannya. ‘Kesrimpet-srimpet’ bagi kebanyakan khalayak, tetapi justru mulus bagi yang dekat dengan kekuasaan.

Maka benar kutipan yang dikutip oleh si- Bung: “Men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen wat meen weet, men kan allen onderwijzen wat man is.” (Manusiatidak bisa mengajarkan sesuatu sekehendak hatinya, manusia tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, manusia hanya bisa mengajarkan apa yang ada padanya).

Cukuplah ‘tukang-ngibul’ itu ada di film saja sebagai komedi, sebagai hiburan. Tetapi tidak sebagai pemimpin. Makanya: #2019ganti presiden! *** (06-04-2019)

 

[1] Lihat Pembukaan UUD 1945, alinea 4

Menjaga Martabat Yang Lain

gallery/benyamin