www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

04-04-2019

Franz Magnis-Suseno dalam kolom Kompas 12 Maret 2019 pada bagian akhir menuliskan , “kita tak memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa.”  Dari lontaran Magnis ini kita bisa juga kembangkan pertanyaan berikut: “Siapa yang terburuk dalam hal berkuasa di Indonesia ini?” Jika kita kembali kepada UUD 1945, khususnya Pembukaan alinea 4 maka dia yang berkuasa dan terburuk adalah yang gagal dalam (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Mengapa kita perlu mengingat ke-empat hal tersebut? Karena itulah sebenarnya tugas pemerintah seperti ada dalam undang-undang kita.

Ketika ada dua calon yang sama-sama belum pernah berkuasa, maka kita belum bisa menilai apakah ke-dua calon itu nantinya setelah berkuasa akan mampu melaksanakan amanat konstitusi seperti ada dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 tersebut atau tidak. Yang kita pakai sebagai ‘bahan penilaian’ adalah rekam jejak dan janji-janji kampanye mereka. Menjadi berbeda ketika salah satu calon adalah petahana, dimana ia sudah bisa kita nilai kemampuan saat ia berkuasa: apakah mampu melaksanakan amanat konstitusi itu? Sedang calon satunya, tetap kita lihat rekam jejak dan janji-janji kampanyenya. Tentu bagi petahana juga rekam jejak dan janji-janji kampanyenya juga, hanya bedanya kemampuan selama 5 tahun terakhir saat memegang kekuasaan republik itu masuk sebagai bagian penting dari rekam jejak.

Dalam ranah demokrasi, tentu pemilihan hanyalah satu bagian dari bermacam aspek demokrasi. Tetapi kadang dalam pemilihanlah wujud demos-kratos itu bisa berkekuatan. Jadi masalahnya tidak hanya pada si calon, tetapi juga kita sebagai pemegang hak suara. Maka tentu adanya himbauan untuk tidak golput itu sah-sah saja. Hak suara untuk apa? Tentu pertama-tama suara untuk memilih. Tetapi jika kita berhenti pada soal memilih saja rasanya demos-kratos sangat rentan untuk dipermainkan. Maka penghayatan akan ‘daya-guna’ hak suara semestinya tidak berhenti semata pada soal memilih saja, tetapi juga dihayati sebagai sebuah kekuatan untuk memberikan ‘apresiasi’ dan ‘hukuman’.

Kita tidak sekedar memilih antara dua calon, tetapi bagi petahana, dia harus menghadapi kekuatan ‘apresiasi’ dan ‘hukuman’ ini. Maka nantinya, siapapun pemenang dalam pemilihan, ketika tiba waktunya (pemilihan) ia tidak hanya menghadapi masalah dipilih atau tidak lagi, tetapi juga ‘diapresiasi’ atau ‘dihukum’. Dengan penghayatan ‘apresiasi’ dan ‘hukuman’ ini maka kutipan dari Franz Magnis Suseno di atas juga bisa dibaca sebagai: “kita tak memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa lagi.

Maka setiap pemenang pemilu akan selalu ada dalam bayang-bayang ‘hukuman’ dari si-demos. Dan kekuatan bayang-bayang itu adalah nyata. Karena nyata berkekuatan maka si-pemenang akan berusaha untuk ‘menyangkal’-nya sekuat tenaga dengan terus berusaha mewujudkan janji-janji kampanyenya. Si-pemenang bisa saja dalam kurun waktu 5 tahun akan ugal-ugalan karena mungkin dalam imajinasinya toh dalam lima tahun mendatang (jika ia ikut kontestasi lagi) semua akan mulai lagi di titik nol lagi. Yakin bahwa bayang-bayang ‘hukuman’ itu juga akan menjadi nol. Atau yakin mampu untuk mengenolkan.

Maka untuk mencegahnya ugal-ugalannya si-pemenang lima tahun lalu, dan juga untuk lima tahun mendatang, bayang-bayang ‘hukuman’ itu harus nyata berkekuatan, sehingga kita tidak hanya ‘memilih’ tetapi juga sekaligus dapat “mencegah yang terburuk berkuasa lagi.” *** (04-04-2019)

Mencegah Yang Terburuk Berkuasa (Lagi)