www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-03-2019

Gegap-gempitanya Mobil Esemka bertahun lalu sebenarnya adalah juga gegap-gempitanya klaim. Kegilaan akan klaim bisa jadi adalah kegilaan akan hasrat yang ngendon di dada. Kegilaan karena seakan tidak ada yang meng-counternya. Ada, tetapi sungguh minor, tenggelam dalam gemuruh gelombang ombak kegilaan akan klaim. Kita masih ‘untung’ kegilaan akan klaim bertahun itu masih ‘soal mobil’ dan bukan soal ‘ras unggul’ misalnya.

Beberapa pemikir di abad-abad lampau sudah menengarai sulitnya mengendalikan gejolak hasrat ini. Salah satu jalan adalah melawankan hasrat dengan hasrat. Trias politika-nya Montesquieu tidak lain esensinya adalah hasrat vs hasrat. Dalam perkembangan selanjutnya, masuklah juga masyarakat sipil dan media. Media bisa juga dipandang dalam konteks hasrat vs hasrat ini, dan contoh konkret adalah terkait soal Mobil Esemka di atas. Hasrat yang mewujud akan kegilaan klaim ini seakan semakin menjadi-jadi ketika media, dalam hal ini media mainstream atau bisa kita katakan di sini media dengan modus man-to-mass, lumpuh. Tidak hanya lumpuh, bahkan menjadi salah satu pemain utamanya. Layaknya si-pemegang senjata dalam era ke-totaliteran abad XX.

Bagi Adam Smith, kebanyakan orang terkait dengan hasrat ini bisa dikatakan ada pada ‘sekedar kepantasan’. Selain itu Smith juga menginstrodusir istilah famous sect (sekte agung) dimana dikaitkan dengan self-command yang kuat. Jika kita meluaskan imajinasi kita, kita bisa berandai-andai bahwa seorang pemimpin itu adalah golongan famous sect, dalam arti mempunyai self-command yang kuat. Maka sebenarnya bagi seorang pemimpin politik ada dua lapis pengendali hasrat, pertama sebenarnya adalah pengendalian diri, self-command yang kuat terhadap berbagai gejolak hasrat atau soal latihan keras ‘disiplin hasrat’, dan kedua, dia mau tidak mau ada dalam ranah hasrat vs hasrat juga.

Lumpuhnya atau berpihaknya media mainstream secara ‘membabi-buta’ ini ternyata terus berlanjut seiring dengan melanjutnya ‘kegilaan akan klaim’. Salah satu ‘rute’ dari kegilaan ini adalah ‘prototipisme’. Prototipe atau contoh itu hadir untuk membantu pemahaman, menolong imajinasi. Sebuah ‘rumah contoh’ dalam bisnis properti tentu akan berkorelasi erat dengan yang akan diserah-terimakan pada pembeli. Tetapi dalam kegilaan akan klaim, satu prototipe bisa dipompa sedemikian rupa sehingga melampaui imajinasi yang normal bisa dibayangkan.

Kegilaan akan klaim ini jika tidak hati-hati, seperti Hitler yang memompa kegilaan klaim atas keunggulan ras itu ternyata menyimpan kegilaan lain, klaim adanya ras musuh yang harus dibasmi. Sejarah kelam kemanusiaan-pun menjadi catatan sejarah kita, dan itu bisa dikatakan merupakan ujung dari kegilaan klaim.

Tidak jauh berbeda tapi dengan kadar yang ‘soft’, over-claim atau bahkan kegilaan (madness) klaim ini bisa juga menyimpan kegilaan lain, sebuah ‘soft-madness’ yaitu kegilaan akan sebuah olok-olok. Secara tidak sadar (atau sadar penuh?) kegilaan akan klaim ini akan dirasakan lebih ‘berdaya-guna’, lebih ‘memabukkan’ ketika ada background yang begitu negatifnya terkait dengan yang sedang di-klaimnya. Meng-klaim dirinya paling ganteng (maka ia) sekaligus terus saja mengolok-olok di luar dirinya itu tidak ada yang ganteng sama sekali. Dan dari sinilah kemudian lahir si Raja KO: si Raja Klaim dan Olok-olok. Jika tidak ada counter hasrat melalui masyarakat sipil dan terutama media maka bisa jadi si Raja KO itu akan terus-menerus selalu nyaman di tahtanya.

Facebook pertamakali launching tahun 2004, sedangkan Twitter dilaunching tahun 2006. Tahun 2007 di twitter ada 1,6 juta kicauan, dan melonjak menjadi 400 juta kicauan per-tahunnya di 2008. Tahun 2010 ada 65 juta kicauan per-harinya, yang satu tahun kemudian menjadi 140 juta kicauan perhari. Dominasi media mainstream, atau media modus man-to-mass (seperti radio, televisi, surat-kabar) mengalami keretakan luar biasa karena ulah media sosial ini, atau bisa dikatakan media modus mass-to-mass.

Tentu kuatnya efek propaganda sangat signifikan dalam hikayat si Raja KO ini, tetapi jangan lupa pula akan adanya background tertentu, dalam bahasa Noam Chomsky: terhambat/tidak optimalnya khalayak untuk mengetahui perasaan atau sentimen satu sama lainnya.[1] Hadirnya media sosial di awal hikayat si Raja KO ini secara jejak digital dapat kita lihat justru lebih mendukung lahirnya si Raja KO ini. Tetapi sebagai learning society toh perlahan dunia media sosial ini, dunia mass-to-mass ini terbukti memang tidak mudah untuk dikendalikan, apalagi dimonopoli. Aktifitas media sosial di luar gerombolan pendukung si Raja KO ini-pun perlahan semakin membesar. Semakin belajar, semakin kritis. Di tengah-tengah gelontoran bingkai dari media mainstream, celah cerdas dari media sosial ini semakin cepat beradaptasi dengan hadirnya celotehan cerdas dari bermacam pihak, misal dari Rocky Gerung. Dan banyak lagi. Inilah juga akhirnya yang mendorong munculnya modus komunikasi man-to-man atau face-to-face dalam skala gigantis seperti yang berulang terjadi di Monas, misalnya.

Maka yang terjadi setelah beberapa tahun berjalan, ketika si Raja KO itu naik ring dan tetap saja menari dengan ‘KO’-nya, semakin nampak hanya itu-itu saja yang kemudian bertepuk tangan. Lainnya dan bahkan semakin banyak, mulai sebel, mulai eneg dan tanpa basa-basi lagi memilih meninggalkan ring. Sudah tidak menarik lagi, atau bahkan semakin dilihat, semakin bikin mules saja. Semakin dirasa sebagai yang menghina kecerdasan. Anda mau terus-menerus dihina kecerdasan anda? Mau? Mau? Mau? Kalau saya jelas tidak ... Dan pastilah sebagian besar dari anda-anda juga tidak ..... *** (23-03-2019)

 

[1] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/041-Belajar-Dari-Noam-Chomsky/

Hikayat

Si Raja KO

gallery/tyson
gallery/tyson down