www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-03-2019

Mari kita bayangkan, di dalam dunia yang semakin kompetitif ini, apa yang diperlukan? Nampaknya reputasi dan daya juang. Apa yang diperlukan untuk membangun reputasi? Atau sebelumnya, reputasi dalam hal apa? Seorang anak dengan bakat otak-atik mesin ia bisa terarah untuk mencapai reputasi dibidang perbengkelan nantinya, misalnya. Tetapi jangan dipaksakan atau diharapkan ia mempunyai reputasi seorang guru atau pelukis. Maka dalam reputasi sebenarnya ada kompetensi. Dia kompeten nggak dalam memperbaiki mesin sepeda motor? Dia kompeten nggak sebagai seorang akuntan? Bagaimana membangun kompetensi? Pertanyaan sama, kompetensi dalam bidang apa? Dalam segala hal? Mimpi kelihatannya.

Di sinilah sebenarnya letak strategis dari lontaran Sandiaga Uno dalam debat cawapres baru-baru ini, soal bakat dan minat dalam pendidikan. Itulah jika kita bicara soal potensi, soal bakat dan minat.

 

Setiap dari kita tidak hanya terlahir berbeda soal wajah dan perawakan, tetapi juga soal bakat. Tentu juga soal IQ, tetapi hati-hati soal IQ ini ketika bicara soal pendidikan. Bukannya tidak penting, tapi jika tidak hati-hati sering yang terjadi adalah kemudian bukan bicara soal bakat lagi sebagai yang terpenting. Soal bakat ini bukannya kemudian guru atau siapapun yang terlibat dalam pendidikan terus mempunyai tugas menemukan bakat anak-per-anaknya. Bukan itu tugas utamanya, tetapi ia seakan ‘bidan’ yang membantu anak didik dari waktu-ke-waktu menemukan bakat atau potensi terpendamnya. Maka syarat utamanya adalah, berikan guru terutama pendidikan dasar pada situasi optimalnya sehingga ia bisa mendampingi anak-per-anaknya dengan optimal. Untuk itu jumlah murid per kelasnya usahakan jangan melebihi 26 anak. Di beberapa negara idealnya tidak lebih dari 22 anak.

 

Untuk membantu potensi anak sehingga bisa perlahan semakin nampak, khususnya bagi kita di negara berkembang ini, berani mengungkap diri adalah hal krusial. Salah satu jalan adalah dengan pendidikan ‘retorika’ sejak dini. Tentu pada kelas-kelas 1-2-3 SD misalnya, berani bicara dan mampu mengapresiasi ketika teman bicara adalah yang utama. Apapun isinya, berilah anak-anak kita kesempatan bicara seluas-luasnya. Bicara dalam dunia tatap muka langsung, dunia yang semakin mahal dengan merebaknya televisi dan sosial media.

 

Juga yang sering dilupakan, latihlah guru-guru SD kelas 1-2-3 itu dengan kemampuan mendongeng yang baik, yang menarik, dan dapat perlahan membangun minat anak akan sesuatu hal yang baik. Pilihlah dongeng-dongeng yang bermutu. Ingat, jika kita membayangkan pendidikan dasar yang sampai dengan lulus SMP itu, ada waktu 9 tahun. Waktu yang sungguh akan cukup untuk tidak tergesa-gesa menjejalkan berbagai pengetahuan atau ketrampilan yang mestinya bisa lebih mudah diserap di usia-usia yang lebih tua. Konsultasi dengan ahli-ahli perkembangan anak, baik medis maupun psikologis. Perkembangan motorik halus misalnya, meski tiap anak akan berbeda-beda tetapi memaksakan anak tingkat TK untuk dapat menulis itu sebenarnya berlebihan dari sudut pandang perkembangan anak.

 

Pilihlah guru-guru terbaik untuk kelas 1-2-3 SD, dan kalau perlu jika tiap kelasnya sekitar 20-an anak, dua guru mendampingi setiap harinya. Terlalu mahal? Tidaklah, dan bayangkan jika anak-anak kita sejak awal sekolah telah mendapat perhatian dan pendampingan secara benar, bukankah 20  tahun yang akan datang misalnya, kita akan memetik buahnya?

 

Daya juang dan sekaligus juga salah satu jalan untuk ‘pendidikan eros’[1], semacam silat [2] bisa diintrodusir. Bukan untuk menjadi seorang pendekar, tetapi untuk memperkuat daya juang dan nuansa lain di sekitar seperti disiplin, sportivitas  misalnya. Jika ada satu-dua-tiga yang sungguh berbakat, silahkan jadi pendekar dan berlaga kalau perlu sampai tingkat dunia. Dengan tambahan feeding dongeng-dongeng yang bermutu, kedua hal ini bisa berkelindan saling menguatkan.

 

Masih banyak lagi hal yang bisa dibicarakan dan dikembangkan ketika bicara soal bakat dan minat dalam pendidikan. Tentu pendidikan tidak hanya bicara soal bakat dan minat. Pendidikan retorika dan ‘pendidikan eros’ misalnya, ia akan memberikan daya ledak yang sungguh tidak bisa kita prediksi bagaimana nantinya ketika ia ‘bersekutu’ tanpa sadar dengan bakat dan minat. Dan juga bagaimana ketika nantinya ia harus berkerjasama dengan yang lain.

 

Sebagai tambahan terakhir, mengapa kita tidak merancang bagaimana anak-anak kita yang sudah setingkat SMA atau bahkan kelas 3 SMP untuk ikut merasakan dunia kerja di waktu-waktu liburannya. Apapun itu, ia bekerja dan dibayar. Sebuah pengalaman yang sadar atau tidak akan ikut mempengaruhi ketika ia sedang menghayati pendidikan-pendidikan selanjutnya. Atau ketika ia terjun ke dunia nyata pekerjaan. *** (18-03-2019)

 

[1] https://www.pergerakankebangsaan.com/215-Mak-Erot-Eros/

[2] https://www.pergerakankebangsaan.com/217-Silat-dan-Kita/

 

 

Bakat, Minat dan Paradigma Proses