www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

14-03-2019

Survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei mau-tidak-mau-suka-tidak-suka telah ikut mewarnai perjalanan gelar demokrasi era Reformasi. Perjalanan panjang kegiatan survei membuat kita tidak bisa terus dengan serta merta menganggap hal survei itu tidak ada atau asal nggedebus saja. Lepas dari baik-buruknya, kita malah wajib melihat kiprah lembaga survei ini dengan serius terlebih dalam konteks menyelamatkan demokrasi.

Pernah muncul sebuah diskusi di Inggris 2-3 tahun lalu terkait apakah hasil pollling yang dilakukan oleh lembaga survei itu boleh dirilis selama masa kampanye atau tidak. Di beberapa negara terbit larangan merilis hasil polling sebelum coblosan, ada yang satu hari sebelum dan satu hari sesudahnya, ada yang lebih dari itu. Tetapi muncul pula argumentasi, kalau toh dilarang dirilis sebelum coblosan misalnya, apakah di era digital internet ini akan efektif larangan tersebut? Justru kalau dilarang dan ternyata tetap beredar di-‘dunia-kasak-kusuk’ jangan-jangan malah kemungkinan efek bandwagon-nya lebih besar.

Memang tidak mudah ketika sangsi sosial dalam satu masyarakat belum berjalan efektif sehingga bicara kredibilitas-pun kadang masih kurang. Serba repot. Adakah jalan keluar?

Mungkin memang diperlukan usaha lebih. Bisa saja dibuat peraturan supaya ketika lembaga survei yang merilis hasil surveinya ia diwajibkan pula untuk mem-publish juga posisinya saat itu, apakah independen atau memang dalam kontrak dengan pihak-pihak tertentu, siapapun pengontrak-nya. Dari situ jika ngakunya independen misalnya, maka sumber dana-pun semestinya bisa dilacak. Tentang sumber dana bisa saja tidak di-publish, tetapi harus bisa di-audit oleh pihak yang berwenang layaknya penelusuran sebuah kasus pencucian uang (money laundring). Artinya bukan audit output hasil survei, tetapi proses-proses di luar proses survei itulah yang dilakukan audit secara seksama jika memang dipandang perlu. Dan terutama sekali lagi, audit terkait dengan pembiayaan survei, khususnya sumber pembiayaan untuk disinkronkan dengan posisi yang di-publish saat rilis hasil survei.

Tentu masih banyak pilihan-pilihan lain untuk kita bisa mengembangkan demokrasi tanpa hiruk-pikuk ugal-ugalannya lembaga survei yang seakan telah menjadi satu entitas tak tersentuh itu. Masih banyak lembaga survei yang kredibel dan sungguh membantu pengembangan demokrasi, tetapi tidak sedikit pula yang ugal-ugalan berperilaku seakan dewa saja. Bahkan kemudian berperilaku sebagai bagian kaum Sophis saja.

Tetapi satu hal yang tidak boleh lolos dari perhatian kita bersama, yaitu ketika survei itu bukan lagi masalah kredibilitas, tetapi sudah masuk ke ranah kriminalitas. Bahkan sebenarnya hal ini bisa masuk kategori ‘kejahatan luar biasa’. Yaitu ketika survei itu dimaksudkan sebagai semacam bingkai (framing) atau bahkan semacam ‘legitimasi’ bagi sebuah kecurangan. Tidak mudah memang membuktikan hal ini, dan sebaiknya kita hati-hati dalam hal ini. Maka kerahkan seluruh sumber daya untuk membongkar ini jika hal tersebut memang ada kecurigaan kuat. Lakukan penyisiran dari segala macam sudut untuk membuktikan ‘konspirasi’ kotor itu. Dan jika terbukti, seret pelakunya untuk diadili dan kita berharap ia dihukum sesuai dengan apa yang harus dipikul oleh seseorang yang telah melakukan ‘kejahatan luar biasa’. Demokrasi kita terlalu mahal untuk diretakkan oleh orang-orang semacam itu. *** (14-03-2019)

Survei, Dari Kredibilitas ke Kriminalitas