www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

12-03-2019

Menurut Hannah Arendt ada dua aktifitas fundamental dari manusia, yaitu: vita contemplativa dan vita activa. Vita contemplativa merupakan aktivitas mental seperti berpikir (thinking), berkehendak (willing), dan mempertimbangkan (judging), sedangkan vita activa adalah aktivitas inderawi yang meliputi kerja (labor), karya (work), dan tindakan (action). [1] Di antara keduanya, jika memakai istilah ‘keprimeran’ Arendt lebih condong ke ‘keprimeran’ vita activa.

Inti uraian Arendt tentang vita activa dapat dirumuskan sebagai berikut: kerja (labor) manusia bersifat repetitif namun berguna bagi kelangsungan hidup; kerja merupakan kegiatan yang berkenaan dengan proses biologis tubuh manusia. Sementara karya (work) adalah upaya manusia menciptakan obyek-obyek yang berkenaan dengan ketidakalamiahan eksistensinya. Sedangkan tindakan (action) merupakan kegiatan baru dan bersifat politis yang melibatkan ikhtiar bersama. [2]

Ketika kita sebagai ‘animal laborans’ sedang melamar pekerjaan maka kita akan persiapkan curriculum vitae kita sebaik-baiknya. Pengalaman kerja sebelumnya jika ada, atau berbagai ijasah sertifikat kita persiapkan. Kalau perlu kita mencari contoh bagaimana membuat surat lamaran kerja yang benar. Jika kita mau wawancara, selain pakaian tersebut nyaman buat kita, harus dipertimbangkan pula kepantasannya. Dan bermacam lagi persiapan yang intinya bagaimana hal-hal tersebut dapat mendorong kita untuk diterima pada pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang akan menghidupi dan mengembangkan kita.

Ketika kita sebagai zoon politikon dan berkiprah secara mendalam di dalamnya, tentu akan sangat berbeda ketika kita masuk dalam dunia ‘animal laborans’. Tindakan (action) kita sebagai zoon politikon adalah di ruang publik, dan dominasi tindakan di ruang publik itu adalah komunikasi. Komunikasi yang bukan asal nggedebus saja, tetapi komunikasi sebagai sebuah potensi manusiawi yang mendesak keluar. Dan komunikasi itu tidaklah sebuah monolog, tetapi dialog antar bermacam manusia. Manusia dengan berbagai spektrumnya. Intinya, bukan keseragaman tetapi keberagaman. Dalam komunikasi itu kita akan bertemu dengan seribu wajah yang berbeda dalam ekspresi bebasnya. Tentu komunikasi akan lain sekali jika tidak ada kebebasan.

Dalam komunikasi di ruang publik itu, bukan deretan pengalaman seperti ditulis dalam CV saat melamar pekerjaan-lah yang membuat komunikasi itu akan ‘berhasil’ di ruang publik, tetapi selain saling keterbukaan adalah juga reputasi. Tentu bermacam pengalaman masa lalu mau-tidak-mau akan memberikan background dalam ‘kualitas’ arah atau ‘kualitas’ komunikasi, tetapi tetap saja itu tidak akan menggeser esensi komunikasi di ruang publik. Aneh juga rasanya jika ada pihak yang dengan riang melambai-lambaikan lembar CV-nya dan dengan itu kemudian minta untuk lebih didengar. Tidak perlu itu di-dendangkan (CV-nya itu) sebab dalam komunikasi itu akan secara tidak langsung akan nampak mempengaruhi kedalaman dan keluasan dalam ber-komunikasi. Dan dengan dangkal-dalam-sempit-luasnya komunikasi, perlahan sebenarnya kekuasaan akan dilahirkan. Dan dari sini pula sebenarnya dapat dilihat juga ketika terjadi krisis komunikasi, maka kita harus khawatir juga akan adanya krisis kekuasaan.

Ketika si-animal laborans akan atau sedang mengkooptasi si-zoon politikonsadar atau tidak, maka mengejar posisi politik bisa-bisa akan dihayati seperti seakan-akan sedang melamar pekerjaan saja. Kemana-mana ia akan selalu melambai-lambaikan kertas CV-nya, misalnya. Lupa bahwa si-zoon politikon itu akan lebih melihat reputasi, integritas dan etika dalam komunikasi. Rekam jejak, pengalaman masa lalu itu akan dihayati sebagai totalitas ketika si-A misalnya, ketika ia berkomunikasi di ruang publik.

Kita harus hati-hati menyikapi hal ini karena itu bisa-bisa bukanlah sekedar arogansi salah kamar ataupun bentuk kekonyolan belaka, tetapi pertanyaannya adalah: apa yang mungkin terjadi ketika si-animal laborans itu mengkooptasi si-zoon politikon? Apa yang mungkin akan terjadi ketika politik dijalankan dengan rasa ‘kerja’? Atau apa yang akan terjadi jika ruang publik itu kemudian dianggap sebagai ruang privat?

Menurut Hannah Arendt, di situlah totaliterisme mungkin mulai berkecambah. Mungkin orang itu karena terbatasnya daya pikir senang saja melaksanakan ‘perintah’ tim konsultannya untuk mengibar-ngibarkan CV-nya dengan riang-gembira, tanpa sadar ia sebenarnya sedang menari di atas gendang potensi totaliterisme. Hal yang mungkin diidamkan oleh sebagian dari ‘kelompok pengaruh’-nya. *** (12-03-2019)

 

[1] Ismail Fahmi, Tindakan Politis Menimbang Pemikiran Aristotelian Hannah Arendt, dalam Jurnal Filsafat Driyarkara “Diskursus”, edisi Th. XXVI, no. 1, September 2002, hlm. 25

[2] Ibid, hlm. 26

Politik dan CV Pengalaman Kerjanya

gallery/arendt

Hannah Arendt