www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

09-03-2019

"Kita menyadari bahwa jika sebuah negara memproyeksikan kekuatannya ke panggung internasional, maka negara itu bisa menjadi negara yang kuat," demikian jawaban Richard Robinson atas satu pertanyaan dalam sesi diskusi kuliah umum Profesor Richard Robison di kampus Universitas Melbourne, Selasa (5/7/2016) malam, [i] hampir tiga tahun lalu. Bagi republik sebenarnya banyak cara memproyeksikan kekuatan di panggung internasional, terlebih gejolak dinamika ada di depan mata, kawasan Pasifik. Gejolak dalam bermacam dimensinya. Diantara kita mungkin ada yang berpandangan bahwa proyeksi ke panggung internasional itu adalah masalah yang disebut sebagai ‘soft power’. Tetapi lihat apa jawaban Menteri Pertahanan AS Donal Rumsfeld ketika ditanya Joseph S. Nye Jr –salah satu tokoh konsep ‘soft power’, tentang ‘soft power’. Dijawab singkat oleh Rumsfeld: “I don’t know what ‘soft power’ is. [ii] TNI ada adalah sebagai bagian penting dari amanat konstitusi : ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia’. Dan terutama terkait dengan dimensi seperti tersurat dalam jawaban Rumsfeld di atas.

Dinamika yang ditunjukkan TNI sebagai institusi selama 20 tahun terakhir ini, tidak hanya secara ‘politis’ dan ‘teknis’, bahkan secara ‘sosial’-pun perlahan sudah menampakkan wujud profesionalismenya. Artinya banyak khalayak yang sudah menghayati gerak majunya.  Tidak hanya menghayati gerak maju, tetapi juga selalu ada saja yang peka jika ada hal-hal yang potensial menghambat gerak maju.

Atau dalam nuansa reformasi, menjauhnya terkait dengan keterlibatan dalam politik praktis semakin mendekat pada apa yang dibayangkan di awal reformasi. Kita mungkin bisa sebagai saksi hidup bagaimana hal tersebut terjadi bukanlah hal yang mudah seperti membalik tangan. Maka jika ada yang ingin bermain-main soal gerak maju ini, ingin menarik-narik TNI kembali terlibat dalam politik praktis, siapapun itu, akan berhadapan dengan rakyat. Tidak hanya masalah terkait dengan cita-cita reformasi, tetapi seperti di sebut di atas, gejolak yang di depan mata itu harus betul-betul disikapi secara profesional, dalam semua segi semua aspek, termasuk dalam hal ini TNI. Mengusik arah profesionalisme TNI, tidak hanya mengusik cita-cita reformasi, tetapi juga ikut mempertaruhkan kedaulatan republik.

Tetapi kita juga harus fair, harus adil dalam konteks membangun profesionalisme TNI ini. Jangan sampai soal profesionalisme ini terus di-usikan terus-menerus hanya pada TNI sebagai institusi. Bagaimana dengan lembaga atau institusi lain? Inilah mengapa seorang pemimpin yang cenderung plonga-plongo-ona-anu-ona-anu dan keranjingan soal sudut kamera sangat tidak bisa diharapkan. Terlalu besar pertaruhannya bagi republik. Sungguh jika kita salah pilih dalam memilih pemimpin, kebusukan akan melanjut dan menyebar kemana-mana. Tambal-sulam tanpa kehormatan sama-sekali. Semau-maunya sendiri. Tak sadar karena kedunguannya, republik menjadi pertaruhan. *** (09-03-2019)

 

[i] http://internasional.kompas.com/read/2016/07/08/13300091/

profesor.australia.indonesia.tak.punya.kapasitas.untuk.jadi.kekuatan.baru.di.dunia

[ii] Brian C. Schmidt, Realism and Facets of Power In International Relations, hlm. 62

Mengapresiasi TNI

gallery/sudirman