www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-02-2019

Albert Otto Hirschman (1915-2012) seorang ahli ekonomi dalam The Passions and Interests menyinggung terkait dengan doux commerce. Menurutnya, Montesquieu-lah sosok yang paling berpengaruh soal doux commerce ini. Mengutip Montesquieu dalam The Spirit of Laws (Esprit des lois) Hirschman menegaskan hal tersebut, berikut kutipan dari Montesquieu: “.... it is almost a general rule that wherever the ways of man are gentle there is commerce, and wherever there is commerce, there the ways of men are gentle.[i] Montesqueiu dalam bagian sama menegaskan lagi : “Commerce ... polishhes and softens barbarian ways we can see every day.[ii] Douceur dalam ‘douceur of commerce’, menunjuk pada sweetness, softness, calm, and gentleness and is the antonym of violence. [iii] Atau secara umum bisa dikatakan, bagi Montesquieu perdagangan akan mendorong berkembangnya peradaban.

Richard Ned Lebow (1942 -), seorang ahli politik dari AS, dalam bacaannya terhadap tulisan-tulisan Thucydides berkesimpulan bahwa salah satu tema kunci dari teks-teks Thucydides adalah ‘the relationship between words (logoi) and deeds (erga). Selanjutnya Lebow menegaskan: “The positive loop between logoi and erga – the theme of Thucydides ‘Archeology’ – created the nomoi (conventions, customs, rules, norms, and laws) that made Greek civilisation possible. [iv] Lebow juga menuliskan bahwa kata-kata (words – logoi) bisa berbentuk peithõ maupun dolos. Dolos bagi Thucydides, menurut bacaan Lebow adalah merupakan sebab penting terjadinya perang. Kadang bagi sebagian politisi yang merasa lebih tahu dibanding opini publik, dolos adalah jalan paling gampang untuk memperoleh dukungan publik.[v] Platon dalam pemahamannya bahwa retorika adalah jantung dari politik maka dalam upaya pencarian dan pengembangan dialog Platon sangat menentang kata-kata yang masuk dalam kategori dolos ini. [vi] Pada masa Yunani Kuno dibedakan ‘modus’ persuasi yang tersampaikan dalam kata-kata yang penuh penipuan (dolos) termasuk di dalamnya false logic, bahkan dengan paksaan dan juga penuh dengan ketidak-jujuran. [vii]  Dolos is clearly linked to violence and injustice, [viii] demikian Lebow menegaskan. Sedang peithõ adalah kebalikannya.

Doux commerce seperti disebut di atas bukannya tanpa kritik. Dalam konteks Eropa, ada yang mengatakan bahwa tradisi kristianitas-lah yang mendorong peradaban sehingga hidup bersama bisa lebih toleran misalnya. Bahkan Albert O. Hircshman juga menegaskan bahwa “the market both promotes and corrupts good morals.” [ix] Dari beberapa kritik terkait dengan doux commerce ini, bisa dilihat bahwa dalam perdagangan ternyata juga menyimpan ‘dolos’ dan ‘peithõ’-nya sendiri. Atau juga lihat tesis Arnold J. Toynbee dalam A Study of History terkait dengan perkembangan peradaban dimana menurut Toynbee perkembangan peradaban adalah bagaimana masalah tantangan dan respon dibangun  dan itu terkait dengan apa yang disebutnya sebagai minoritas kreatif. Tantangan yang begitu besar misal karena bencana alam yang maha-dahsyat, bisa meruntuhkan peradaban. Tetapi runtuhnya peradaban atau membusuknya peradaban juga bisa disebabkan ketika minoritas kreatif menjadi ‘minoritas dominan’ yang cenderung ugal-ugalan.

Tulisan ini bukan bermaksud membahas peradaban dari segala aspeknya yang sangat luas itu, tetapi dari satu sudut sempit: apa yang bisa kita pelajari dari hal-hal di atas? Jika kita melihat dari ‘peta hasrat’ atau ‘peta jiwa’ Platon [x], kita bisa mendapat bantuan memetakan beberapa hal di atas. Baik hasrat yang ngendon di perut ke bawah –ephitumia, misal dalam hal ini commerce seperti contoh di awal tulisan, atau yang erat dengan thumos, hal semangat-harga diri menjaga agar terjaga positive loop between logoi and erga, atau hal logistikon dimana peran agama atau pengetahuan, dan juga minoritas kreatif, dapat dilihat sama-sama mempunyai kesempatan dalam menggerakkan peradaban. Menurut Platon, semestinya itu menggerakkan peradaban ke atas, mendekati pergerakan ‘dewa-dewa’, artinya bergerak menuju hal baik. Dan kalau kita lihat lebih dalam lagi, ada masalah yang mirip dari beberapa hal di atas, yaitu hal ‘tahu-batas’. Bagaimana hal hasrat dari ephitumia itu misalnya, tidak hanya menabrak dan mengkorupsi ‘good morals’ tetapi juga ‘lompat pagar’ mempengaruhi hal bahkan mengobrak-abrik nomoi (conventions, customs, rules, norms, and laws) seperti disebut Lebow di atas. Atau lihatlah bagaimana yang digadang-gadang mewujud sebagai ‘minoritas kreatif’ itu perlahan tergoda menjadi ‘minoritas dominan’ yang lebih mengandalkan violence dan laku injustice. Tergoda mengambil jalan gampang dalam persuasi: jalan ‘dolos’ yang penuh dengan tipu-tipu termasuk di dalamnya false logic, bahkan dengan paksaan dan juga penuh dengan ketidak-jujuran. *** (28-02-2019)

 

[i] Albert O. Hirscmann, The Passions and Interests, Princeton University Press, 2013, hlm. 60

[ii] Ibid.

[iii] Ibid, hlm. 59

[iv] Richard Ned Lebow,The Power of Persuasion,  dalam Felix Berenskoetter, M.J. Williams (ed), Power in World Politics, Routledge, 2007, hlm. 134

[v] Ibid, hlm. 135

[vi] Ibid

[vii] Ibid, hlm. 130

[viii] Ibid

[ix] Lihat: Mark L. Movsesian,Markets and Morals: The Limits of Doux Commerce, 9 Wm. & Mary Bus. L. Rev.

449 (2018), hlm. 462,  https://scholarship.law.wm.edu/wmblr/vol9/iss2/7

[x] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/215-Mak-Erot-Eros/

Beberapa Pendapat Soal Peradaban

gallery/plato wings
gallery/jokowi karnival