www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

26-02-2019

Sindir-menyindir dalam politik adalah hal biasa. Dari bagaimana sindir-menyindir itu diungkap, pilihan kata sampai tema atau konteksnya, sebenarnya kita bisa menilai secara tidak langsung kualitas di si-politisi. Level dari si-politisi. Standing comedy yang sudah mendapat tempat di sebagian kalangan itu sebenarnya juga bisa melatih hal rasa-merasa berbagai tingkatan dari sindiran. Dari sindiran berkelas sampai dengan yang cenderung vulgar ndèk-ndèk-an. Malang-lah kita sebagai satu komunitas jika si-politisi dalam dunia sindir-menyindir ini masih banyak berkutat dalam dunia olok-olok.

Olok-olok dalam dunia anak-anak di Jawa mungkin dekat dengan ‘poyok-poyok’an. Jadi bisa dilihat sepintas, si-politisi entah itu presiden sampai punggawa partai, jika lebih senang akrab dengan dunia olok-olok, itu sebenarnya masih kurang matang. Sebagai politisi jauh dari ‘berkelas’ dan cenderung ndèk-ndèk -an. Jika kita bayangkan olah kata dan olah tanggung jawab dari Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan banyak lagi para pejuang kemerdekaan, sungguh elit level olok-olok ini tidak terbayangkan kok bisa-bisanya hadir bahkan sering sekali lalu-lalang  di ruang publik kita. Inilah sebenarnya saat yang tepat kita sebagai satu bangsa untuk melakukan ‘introspeksi besar-besar-an’, terlebih terhadap apa yang kita lalui sebagai bangsa 8-9 tahun terakhir ini. Paling tidak sejak gegap-gempitanya mobil Esemka itu ‘meledak’. Introspeksi demi generasi yang akan datang. Apa yang salah kita sebagai satu bangsa? *** (26-02-2019)

Elit Level Olok-olok

gallery/pinokio2
gallery/tawa