www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

23-02-2019

Y.B. Mangunwijaya, dalam artikel “Pendidikan Manusia Merdeka” (Kompas, 11 Agustus 1992), menuliskan :

“Banyak orang keliru menganalisa seolah-olah kemajuan dunia Barat bertopang primer pada matematika, fisika atau kimia. Namun, bila kita mau dalam lagi menyelam, maka kita akan melihat bahwa, kemampuan luar biasa dunia Barat dalam hal ilmu-ilmu alam mengandaikan dahulu dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa. Yang berakar pada Filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika”

“Pengertian retorika biasanya kita anggap negatif, seolah-olah retorika hanya seni propaganda saja, dengan kata-kata yang bagus bunyinya tetapi disangsikan kebenaran isinya. Padahal arti asli dari retorika jauh lebih mendalam, yakni pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa selaku kemampuan untuk berkomunikasi dalam medan pikiran. To be victorious lords in the battle of minds. Maka retorika menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan” [i]

Ketika ada kebakaran dan di sebelah ada satu ember air, apakah kita langsung ambil air untuk berusaha memadamkan atau berdiskusi dulu bagaimana sebaiknya memadamkan api yang betul? Tentu tindakan pragmatis kita saat itu adalah ambil air dan guyurkan. Tetapi jika kemudian ditarik kesimpulan bahwa diskusi, bahkan semua bentuk diskusi adalah sia-sia belaka karena yang penting adalah langsung bertindak, apakah benar pendapat ini?

Dialektika dalam ‘alur’ pendidikan Platon ditempatkan pada bagian akhir dari proses pendidikan. Bermacam tahapan harus dilalui dahulu sebelum materi mengenai ‘seni’ berdialektika diajarkan. Tidak mengherankan jika Platon menyusun model pendidikannya seperti itu sebab masa ketika itu retorika ala kaum Sophis telah merebak mengisi ruang-ruang politik.  Dan kaum Sophis adalah juga sasaran kritik Platon.

Kadang-kadang, entah di sekolah atau di bermacam ‘pendidikan kader’, materi debat diajarkan lepas dari misalnya ‘tahapan-tahapan’-nya seperti diajarkan oleh Platon. Bahkan tidak sadar sebenarnya retorika ala kaum Sophis-lah yang diadopsi. Sebagian keprihatinan Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis di dekade 1970-an kiranya bisa menjadi gambaran, baik langsung maupun tidak terkait dengan gagalnya pendidikan retorika. Dan hampir 50 tahun kemudian, kita tetap merasakan hal itu sekarang. Kita tidak pernah serius dalam hal pendidikan retorika ini. Padahal, seperti dikatakan Mangunwijaya retorika (dapat) menjadi mata ajaran poros demi emansipasi manusia menjadi tuan dan puan.

“Emansipasi” adalah salah satu kunci dari pernyataan Mangun di atas. Emansipasi dari asal katanya mengandung arti ‘lepas dari kontrol’. Kalau kita lihat dinamika yang kita lalui sebagai bangsa, pertanyaannya adalah, ‘lepas dari kontrol’ siapa? Jika retorika bisa dipandang sebagai sesuatu yang lebih ada di sisi ‘bangunan atas’ maka sebenarnya bisa dikatakan juga, memperlemah kemampuan retorika itu bisa juga merupakan bagian dari memperkuat dominasi ‘bangunan bawah’ yaitu kekuatan-kekuatan produksi yang ‘kebetulan saja’ hanya dipegang oleh sebagian kecil. Dalam republik bisa dikatakan juga, pelemahan retorika itu adalah sebuah ‘keputusan politis’ dengan outcome-nya: dominasi oligarki-pemburu rente dapat terus berlangsung. Pelemahan retorika, ‘pembunuhan karakter’ retorika menjadikan perjuangan untuk menjadi ‘tuan dan puan’ di negeri sendiri menjadi terseok-seok.

Pendidikan retorika sebenarnya tidak jauh dari pendidikan eros.[ii] Dalam retorika, upaya berkesinambungan dalam “pemekaran bakat-bakat tertinggi manusia, yakni rasio dan cita rasa lewat bahasa” akan banyak menyimpan hal-hal baik dan indah. Dan pendidikan eros adalah melatih gejolak hasrat untuk selalu terarah pada hal baik. Dalam pendidikan retorika, tidak hanya berujar, tetapi mendengar secara aktif dan yang lebih penting, memupuk kemampuan mengapresiasi. Memberikan apresiasi yang tulus ketika temannya bicara. Dan tak boleh dilupakan, dengan merebaknya sosial-media via digital internet ini, kemampuan oralitas anak-anak kita akan tertekan. Maksimalkanlah kesempatan berharga ini, kesempatan tatap-muka face-to-face dengan salah satunya pendidikan retorika yang sungguh ditangani dengan serius. Tahap-demi-tahap, dan bayangkan hasilnya jika itu paling tidak berlangsung selama 9 tahun, dari SD sampai SMP. Jika perlu berlanjut sampai tingkat SMA atau SMK. Sama seperti pendidikan eros, hilangkan paradigma kompetensi dalam pendidikan retorika ini. Tidak usah dinilai dengan angka, lihat saja kemajuan anak-per-anak-nya. Kemajuan selama 9 tahun! Jadi, sabar adalah salah satu kuncinya. Dan tidak usah ngebet untuk di-‘lomba-lombain’ pakai piala-trophy-sertifikat segala. Apalagi lomba 'seru-seru-an' dalam lomba debat. Kalau toh mau dilakukan lomba debat. paling muda pesertanya adalah setingkat kelas 2 SMA, dan jangan di bawahnya. Itu-pun dengan syarat, pendidikan retorika telah dilakukan dengan benar pada tahap-tahap pendidikan sebelumnya.

Tetapi sekali lagi, pendidikan tak akan lepas dari keputusan politik. Bahkan bisa dikatakan, masalah utama pendidikan kita adalah soal ‘kemauan politik’. Politik yang dengan berani masuk ke dalam urusan pendidikan secara patriotik dan cerdas serta mendasar, khususnya pendidikan dasar bagi anak-anak kita. Rejim ona-anu-ona-anu dan yang menjadikan ‘revolusi mental’ semata hanya sebagai ‘dagangan politik’, jelas tidak akan bisa diharapkan. Pasti tidak bisa diharapkan. *** (-02-2019)

 

[i] Dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, cet.7

[ii] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/215-Mak-Erot-Eros/

Retorika dan Kita

gallery/puisi