www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

'Syarat Menipu' Menurut Machiavelli

gallery/machiavelli

20-02-2019

 

“Manusia bersifat sederhana, dan begitu banyak manusia di sekitarnya, sehingga penipu akan selalu menemukan seseorang yang siap untuk ditipunya,” [i] demikian ditulis Machiavelli dalam The Prince (Sang Penguasa). Versi cetak The Prince pertama kali terbit tahun 1532, lima tahun setelah kematian Machiavelli, atau hampir satu abad setelah mesin cetak Gutenberg ditemukan.

 

Soal ‘penipu agung’ ini Machiavelli mencontohkan Alexander VI dan digambarkan oleh Machiavelli  sebagai orang yang “selalu dan hanya memikirkan bagaimana menipu orang lain.” [ii] Bagi Machiavelli, sosok Alexander VI itu begitu ulung dan menguasai ilmu menipu, bahkan dikatakan Machiavelli soal sosok Alexander VI ini: “Tidak pernah ada orang yang mampu dengan sangat meyakinkan atau begitu mudah bersumpah atas kebenaran sesuatu, dan yang tidak menghormati janji.[iii]

 

Bagi Machiavelli, supaya si-raja dapat mencapai ‘prestasi’ sebagai ‘penipu agung’ atau nampak ‘otentik-genuine’ dalam aksi tipu-tipu-nya maka ‘syarat pertama’ adalah “seorang raja tidak perlu memiliki semua sifat baik ......, tetapi ia tentu saja bersikap seakan-akan memilikinya.[iv] Justru kalau memiliki banyak sifat baik itu dan bermaksud melaksanakannya, menurut Machiavelli malah 'merepotkan'. Jika ada ‘sekolah tinggi menipu’ khusus bagi para pangeran maka pangeran yang tidak memiliki sifat-sifat baik tetapi ia mampu berpura-pura layaknya seorang aktor senior maka justru inilah yang akan melanjut ke tingkat master, sedang yang mempunyai sifat baik dan selalu ingin melaksanakan sifat-sifat baik itu, di mata Machiavelli ia justru berpotensi untuk DO, alias drop-out. Lebih lanjut Machiavelli menekankan bahwa diantara sifat baik yang seakan-akan dimilikinya itu: penuh pengertian, seorang yang dapat dipercaya kata-katanya, seorang yang matang dewasa, seorang yang baik budi dan alim, [v] Machiavelli menekankan dua hal: baik budi dan alim. Mengapa? Karena “orang pada umumnya menilai sesuatu lebih berdasarkan apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka rasakan.” [vi]

 

‘Syarat kedua’ adalah si-raja harus “menghindari hal-hal yang akan membuatnya dibenci atau direndahkan.” [vii] Menurut Machiavelli, si-raja “akan dipandang rendah kalau ia mendapat julukan sebagai orang yang mudah berubah sikap, sembrono, lemah, pengecut, dan tidak tegas.” [viii] Jika ada pertikaian diantara bawahannya, menurut Machiavelli si-raja “harus memperhatikan bahwa keputusannya tidak dapat ditarik lagi. Dan ia harus dihormati sedemikian rupa sehingga tak ada orang yang pernah berpikir untuk mencoba menipu atau mempermainkannya.” [ix] Dan untuk menghindari supaya tidak dibenci maka si-raja “harus menunjuk orang lain untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang kurang menyenangkan rakyat dan melakukan sendiri pembagian penghargaan kepada rakyat.” [x] Mungkin kalau jaman now Machiavelli akan menambahkan contoh, misal bagi-bagi sertipikat tanah atau gunting pita, dan sejenisnya.

 

Ada hal menarik ketika Machiavelli menulis tentang ‘kemurahan hati’ seorang raja, dan pertanyaan yang diajukan Machiavelli tak kalah menariknya: “Anda seorang raja atau seorang yang sedang merintis untuk menjadi raja?” [xi] Atau bisa dikatakan juga, anda si-pemegang arche atau sedang mau merebut hegemonia?[xii] Bagi Machiavelli, ketika sedang ‘merintis untuk menjadi raja’ pujian karena kemurahan hati adalah penting, tetapi sebagai raja, kemurahan hati Anda akan menjadi beban Anda.[xiii] Bagi Machiavelli, “seorang raja harus menghindari, pertama-tama, untuk tidak direndahkan dan dibenci; dan kemurahan hati akan mengakibatkan dua hal tersebut.” [xiv]

 

Maka ketika digambarkan sebagai ‘orang-baik’ dalam upaya merintis menjadi raja, melihat pendapat Machiavelli di atas maka itu memang perlu dalam menapak rintisan. Tetapi ketika menjadi raja, gambaran sebagai ‘orang-baik’ ini bisa menjadi beban. Apalagi jika dikaitkan dengan beberapa hal di atas terkait dengan ‘syarat-syarat menipu’, dimana dalam perjalanannya ‘syarat-syarat’ itu bisa saja secara sporadis mengalami keretakan cukup serius. Entah karena sembrono misal ‘aku tanda-tangan tanpa membaca dulu’, atau tidak menampakan diri sebagai orang yang bertanggung jawab, kurang tegas, atau nampak mudah berubah sikap. Yang paling parah keretakannya adalah jika tidak mampu mengatasi ‘pethakilan’-nya bawahan atau ribut-ribut antar bawahan. Apalagi dikoreksi oleh bawahan! Ups! Ketika ‘syarat-syarat’ menipu itu mengalami keretakan parah maka tiba-tiba saja aksi tipu-tipu itu menjadi bermasalah besar. Dan disitulah ‘beban-besar’ yang disebut Machiavelli mendapat ‘momentum’-nya, misalnya terkait bukan ‘kemurahan-hati’ tetapi soal ‘orang-baik’ itu, beban itu akhirnya mewujud dan berkembang di khalayak layaknya sebuah iklan yang booming: orang baik tidak bohong! Bahkan juga ketika ia juga berusaha keras untuk nampak alim, terlalu banyak khalayak yang sudah tidak percaya lagi. ‘Kerusakan’ yang sebenarnya sudah tak tertolong lagi .....  Dewi Fortuna itu telah terbang meninggalkannya. Dan untuk membuat dewi Fortuna itu supaya tunduk lagi, menurut Machiavelli: Anda perlu mengalahkannya dengan paksa. [xv] Maka ..., hati-hati ....., hati-hati ........ *** (20-02-2019)

 

[i] Niccolo Machiavelli, Sang Penguasa, Penerbit PT Gramedia, 1987, hlm. 72

[ii] Ibid

[iii] Ibid

[iv] Ibid, hlm. 73

[v] Ibid

[vi] Ibid

[vii] Ibid, hlm. 74

[viii] Ibid

[ix] Ibid, hlm. 75

[x] Ibid, hlm. 78

[xi] Ibid, hlm. 66

[xii] Lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/034-Dari-Hegemonia-ke-Arche/

[xiii] Niccolo Machiavelli, hlm. 66

[xiv] Ibid, hlm. 67

[xv] Ibid, hlm. 105

gallery/machiavelli2

Niccolo Machiavelli