www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

25-01-2019

David Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism (2005) mengutip pernyataan Margaret Thatcher sebagai berikut: “Economics are the method, but the object is to change the soul.” [i] Kemungkinan besar pernyataan Thatcher itu muncul sekitar akhir dekade 1970-an atau awal tahun 1980-an, sekitar tahun-tahun awal neoliberalisme mendapat momentum politiknya. Selain tentu terkait dengan ‘pengandaian dasar’ dari neoliberalisme itu sendiri, berkembangnya apa yang kita kenal sebagai ‘generasi bunga’ di akhir dekade 1960-an di AS sana beserta merebaknya pemakaian LSD membuat gundah terlebih bagi kubu konservatif. Sebenarnya apa yang diungkap oleh Thatcher itu bukanlah ‘barang baru’ jika kita mencermati program pemberantasan buta huruf Paulo Freire di Brazil sekitar pertengahan tahun 1960-an sampai awal tahun 1970-an. Freire seakan ingin mengatakan: ‘pemberantasan buta huruf adalah sebuah metode, tetapi obyek terpenting adalah merubah (menjadi) jiwa (yang kritis).’

 

 

 

 

 

Tulisan ini bukan soal neoliberalisme dan bagaimana ia mengharu-birukan kehidupan setelah era Thatcher dan Reagan, tetapi soal yang ditunjukan oleh Thatcher seperti dikutip Harvey di atas, soal hidden agenda, atau supaya lebih ramah: kalau dalam kurikulum pendidikan sekolah kita mengenal sebagai hidden curriculum. Bukan yang unintended, tetapi betul-betul sejak awal memang disadari peran-nyatanya. Thatcher sejak awal pastilah paham bahwa ‘proyek neoliberal’ yang diusungnya itu memerlukan ‘kondisi sosial’ supaya dapat berhasil. ‘Generasi bunga’ dan generasi yang ‘di-nina-bobok-an’ oleh walfare state a la Keynesian menurutnya bukanlah generasi pembentuk lapisan sosial yang kompatibel dengan proyek neoliberalnya. Maka perlu diubah ‘jiwa’-nya, (kalau perlu) ‘didisiplinkan’ perilakunya.

Dari asal katanya, metode terkait dengan ‘jalan’ yang ditempuh. Dan bayangkan tentang perebutan kekuasaan, perebutan terkait dengan siapa yang paling berhak untuk menjalankan kekuasaan. Kita telah melihat dalam sejarah, dari yang begitu brutal sampai dengan yang sudah terjinakkan, jalan demokrasi. Demokrasi adalah kesempatan bagi rakyat untuk memilih siapa yang paling baik menurutnya untuk menjalankan kekuasaan dalam rentang periode tertentu. Masalahnya menjadi tidak sederhana lagi jika kita mengingat pembedaan antara negara dan rejim seperti yang dilakukan oleh Cardoso, serta pembedaan antara rejim primer dan rejim sekunder.[ii] Bagi Cardoso, di negara kapitalis, hubungan-hubungan yang sifatnya kapitalistis itulah yang sebenarnya merupakan rejim primer, sedang rejim sekunder bisa berbentuk rejim otoriter, oligarki, demokrasi, atau apapun itu. Di republik, ‘hubungan-hubungan kapitalistis’ yang sebagai rejim primer itu dalam praktek mewujud dalam satu bentuk senyawa: oligarki-pemburu rente.

Meminjam pendekatan Fenomenologi dimana salah satu ‘prosedur’-nya dikenal pembedaan the wholes dan the parts, baik rejim primer maupun rejim sekunder itu adalah sama-sama part. Bedanya adalah, rejim primer merupakan part yang pieces (independent part) sifatnya, sedang rejim sekunder, part yang moment (non-independent part). Dahan adalah merupakan bagian dari (keseluruhan) pohon, tetapi dahan tetap bisa kita hayati sebagai dahan meski ia terlepas dari pohon. Dahan tersebut adalah independent part (pieces). Warna merah misalnya, ia hanya bisa kita hayati ketika ada melekat pada material lain, maka warna merah tersebut adalah non-independent part (moment). Demokrasi sebagai rejim sekunder sebaiknya kita hayati sebagai part yang moment sifatnya, tidak bisa lepas dari ‘pakta dominasi’ yang dominan di republik, yaitu senyawa oligarki-pemburu rente itu. Tentu kita bisa memaknai lain, misal bukan seperti itu, tetapi yang lainnya, tetapi itu punya ‘bahaya’ tersendiri, yaitu kita bisa salah dalam memberikan respon. Dengan menghayati dalam konteks rejim primer-sekunder, kita bisa membangun respon dengan lebih tepat, dan mengembangkan penghayatan akan demokrasi di republik (sekarang ini) sebagai upaya untuk merebut ‘pakta dominasi’ misalnya, dan bukan sekedar coblos-mencoblos saja.

Dalam Fenomenologi, whole dapat disebut sebagai concretum, something that can exist and present itself and be experienced as a concrete individual. Sedangkan part yang piece –independent part, is a part that can itself become a concretum. Part yang moment (non-independent part) bagaimanapun juga, cannot become concreta, they exist only as blended with their complementary parts.[iii] Senyawa oligarki-pemburu rente yang sekarang ini semakin ugal-ugalan di republik, sebagai independent part ia bisa become a concretum, menjadi the whole dari rejim sekunder. Sebagai part, the whole dari senyawa oligarki-pemburu rente di republik ini bisa-bisa adalah ‘pakta dominasi global’. Maka tidaklah ngelamun jika ada gejolak terkait dengan dinamika pakta dominasi global, maka senyawa oligarki-pemburu rente republik-pun bisa juga ikut panas-dingin-gatal, terutama terkait dengan dinamika bertahun terakhir ini, geliat raksasa RRC tidak hanya di Pasifik, tetapi juga global.

Dari kutipan Thatcher di atas maka kita bisa juga membayangkan bahwa tidak hanya masalah atau ‘kondisi politik’ dan ‘kondisi teknis’ saja senyawa oligarki-pemburu rente itu akan mendasarkan dirinya dalam bercita-cita terus melanggengkan dominasinya di republik, tetapi juga ‘kondisi sosial’-nya. Maka bagi mereka, metode demokrasi sebagai rejim sekunder itu-pun bukan sekedar realisasi dari pencapaian ‘kondisi politis’, tetapi juga mestinya mampu memberikan ‘kurikulum tersembunyi’ yang mampu memberikan ‘kondisi sosial’ yang kompatibel terhadap bercokolnya dominasi mereka. Tidak hanya bercokol, tetapi yang paling penting: langgeng bercokol.

Maka kita tentu boleh bertanya, apa yang mau dicapai dengan lempar-lempar hadiah atau bingkisan melalui jendela mobil yang sedang berjalan itu? Dan pecingas-pecingis melihat rakyat memperebutkannya? Atau cobalah kita telusuri maksud apakah yang ada dari jawaban-jawaban yang menohok dari petinggi negara ketika rakyat menanyakan nasib mereka? Tidak sekali-dua-kali, tetapi berkali-kali kata-kata menohok itu meluncur keluar dari mulut petinggi yang terhormat itu. Belum lagi komentator-komentator yang berkeliaran di ruang publik, menebar kata-kata tidak bermutu, jumpalitan tidak karu-karuan. Dan bermacam lagi. Maka ketika sambil mendengar celotehan Gombloh, terhadap bermacam itu kadang kita hanya bisa nggedumel: bangsat! *** (25-01-2018)

 

[i] David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, Oxford University Press, 2005, hlm. 23

[ii] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/161-Dramaturgi-Pakta-Dominasi/

[iii] Sokolowski, Introduction to Phenomenology, Cambridge University Press, 2000, hlm. 24

Metode & Jiwa, Belajar Dari Thatcher

 

gallery/thatcher3
gallery/gombloh