www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

18-01-2019

Imajinasi memegang peran penting dalam pemikiran Adam Smith. Simpati yang dimaksud Smith tidak akan berkembang tanpa kemampuan imajinasi. Dengan imajinasi pula kita bisa mengajukan pertanyaan, apakah benar masalah transaksi ekonomi itu merupakan satu-satunya wujud dari self-interest? Atau bahkan kita bisa bertanya, apakah benar self-interest merupakan satu-satunya dimensi manusia? Mereduksi manusia semata tergerak karena kepentingan diri tentu mengkerdilkan manusia itu sendiri. Tetapi mengingkari dahsyatnya gerak dan energi yang dikandung dalam (upaya pengejaran) kepentingan diri akan membuat kita seakan hidup melayang di awang-awang.

Dengan bantuan ‘peta hasrat’ dari Platon, kita bisa membayangkan bahwa yang namanya kepentingan diri itu bisa mungkin tidak hanya bersentuhan dengan transaksi ekonomi saja, tetapi mungkin juga bersinggungan dengan hal kebanggaan diri, reputasi diri,  ataupun hal nalar-menalar. Tetapi nampaknya benar juga peringatan Machiavelli, yang paling menguasai kepentingan diri itu kemungkinan besar adalah hal terkait dengan ‘kebutuhan mendesak’, dan kiranya tidak ada yang lebih mendesak dari pada masalah perut. Masalah perut yang bisa juga diselesaikan dengan berbagai transaksi ekonomi.

Bagai letak Bumi di tata surya, manusia dalam perjalanannya selalu mencari ‘ruang aman’ bagi dirinya. Dengan adanya ‘ruang aman’ itu ia bisa beristirahat, ia bisa memulihkan tenaga, dan bermacam lagi termasuk membesarkan anak misalnya. Bahkan bermacam perang misalnya, salah satu alasan adalah memastikan adanya ‘ruang aman’ bagi dirinya meski katakanlah harus menaklukkan yang lain. Maka tidak berlebihan juga jika kemudian dikatakan bahwa meski yang nampak adalah dominasi kepentingan diri, jauh di dalam diri tetaplah ‘imajinasi akan ruang aman’ itu tidaklah hilang menguap begitu saja, meski tidak nampak secara langsung. Dan dalam ‘sekte agung’ (famous sect)-lah kemungkinan  ‘imajinasi akan ruang aman’ itu mendapatkan potensi wujud yang lebih nyata. Maka hal famous sect ini bukanlah masalah ke-konservatif-an, atau soal nguri-uri nilai-nilai luhur, dan jelas juga bukanlah masalah ‘darah biru’, tapi adalah balance yang mana dengan itu maka meledak-ledaknya energi kepentingan diri yang berasal dari berbagai sudut itu tidak terus begitu saja terarah pada keretakan atau bahkan kehancuran. Maka pada dasarnya apa yang disebut sebagai famous sect itu bukanlah suatu entitas yang terpisah dari yang berkubang dalam moralitas mere propriety, tetapi ia sebenarnya adalah sebuah ‘struktur yang terdukung’. Dan dalam ‘keterdukungan’ itu jauh dilubuk terdalamnya ada sebuah pondasi: trust, kepercayaan. Trust dalam hal apa? Trust bahwa famous sect yang lekat dengan virtue itu, jelas tidak akan begitu mudahnya untuk ikut-ikutan berkubang dalam moralitas yang mere propriety itu –yang sekedar terarah lebih pada hasrat akan rejeki dan kekayaan, status sosial, kesehatan dan sejenisnya karena dalam keutamaan itu, self-command memegang peran sentralnya. Tentu ‘moralitas sekte agung’ itu belumlah merupakan kondisi yang mencukupi bagi seorang pemimpin, tetapi bagaimanapun juga ia mutlak diperlukan.

Tulisan ini dimaksudkan untuk sedikit memberikan gambaran mengapa ‘hikmat dalam memilih’ itu penting, sepenting dengan keinginan untuk menuju ‘hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’. Satu petunjuk kecil untuk ‘berhikmat’: jangan pernah memilih yang sudah terbukti ‘tidak bisa dipercaya’. Terlalu banyak ‘nggedebus’-nya. Terlalu banyak janji tapi realisasinya jauh dari yang diucapkan. Karena apa? Karena jauh di lubuk terdalam kita, kita ingin hidup bersama itu berdasarkan trust, berapapun kadar karatnya.

Kemudian, bagaimana harus bersikap ketika pengingkaran akan kepercayaan itu akan ditutupi habis-habisan dengan taktik yang berdasarkan ‘kebutuhan yang mendesak’ seperti dikatakan oleh Machiavelli? Mungkin bisa dicoba bertaktik: hasrat vs hasrat. Atau lugasnya, siapakah anda, kita kok mau-maunya ditipu berkali-kali? Dimanakah harga diri itu? Atau, dimanakah akal sehat kita? Tidak mudah memang, dan tidak ada yang akan mengatakan itu mudah. Atau, akankah anda gadaikan ‘ruang aman’ anda dengan membanjirnya TKA itu? Dan seterusnya ...

Jika kita mampu secara terus-menerus selalu berusaha mengurangi ‘aksi-tipu-tipu’ dalam pemilihan, maka apa yang disebut sebagai ‘kerakyatan’ itu bisa diharapkan akan semakin menguat. Para kontestan akan hati-hati dalam berucap dan berjanji, karena mereka tahu persis rakyat sebagai pemilih sudah semakin ‘hikmat dalam memilih’. Maka, mengapa tidak mulai dari sekarang, di tahun 2019 ini? *** (18-01-2019)

Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Dalam Memilih (2)