www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

17-01-2019

“Korban janji 2014 sedang dipanggil bergiliran untuk diberikan janji baru”

Muhammad Said Didu [i]

“Anda harus menjadi pembohong dan hipokrit besar. Manusia berpikiran sederhana, dan begitu banyak dikuasai oleh kebutuhan mendesaknya, sehingga orang yang penuh tipu daya akan selalu menemukan banyak orang yang siap untuk ditipu”

Machiavelli [ii]

***

Hikmat berarti kebijakan, kearifan, kesaktian (kekuatan gaib) [iii]. Bijak berarti selalu menggunakan akal budinya, pandai, mahir, pandai bercakap-cakap, petah lidah.[iv] Kebijaksanaan berarti kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya), kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan dsb.[v]  Hikmat dalam memilih berarti memilih berdasarkan kebijakan dengan menggunakan akal budinya. Tetapi benarkah dalam pemilihan kita memilih selalu berdasarkan akal budi? [vi] Kutipan tulisan Machiavelli seperti disebut di awal tulisan -yang sudah berumur hampir 500 tahun itu, rasa-rasanya masih terasa denyutnya: manusia berpikiran sederhana, dan begitu banyak dikuasai oleh kebutuhan mendesaknya.

Mengapa setelah 500 tahun masih terasa denyutnya? Mungkin karena yang dibicarakan Machiavelli (1469-1527) sama dengan yang dibicarakan sekarang, bicara soal manusia. Manusia dengan segala hasratnya: manusia apa adanya –the nature of man, tidak jauh dengan yang dibicarakan Thomas Hobbes (1588-1679), atau bahkan Adam Smith (1723-1790). Jika kita menilik ‘suasana kebatinan’ jaman, baik Machiavelli, Thomas Hobbes maupun Adam Smith mereka ada dalam jaman dimana manusia perlahan menuju sentral, antroposentris. Pergeseran yang terjadi sejak era Renaissance dimulai.

Dari Adam Smith sebenarnya kita bisa mengambil pelajaran atau ‘penjelasan’ mengapa ‘hikmat dalam memilih’ itu penting. Suka tidak suka, hidup sehari-hari kita banyak keseiringannya dengan tesis-tesis Adam Smith. Dan kita sebaiknya tidak begitu saja ‘alergi’ jika mendengar kata atau nama Adam Smith. Bukan apa-apa, tetapi ketika banyak ‘tata hidup keseharian’ kita banyak keseiringannya dengan Adam Smith, dengan lebih mengenal kita bisa lebih mampu untuk menghindar dari ‘telikungan licik’ yang berujung pada laku licik dan menjadikan ‘keberesan rezeki’ kebanyakan orang terus-menerus pontang-panting. Tentu banyak aspek yang dapat dibicarakan di sini, terlebih sejak tahun 1970-1980-an ketika apa yang kita kenal sebagai neoliberalisme itu mulai merangkak. Atau bandingkan apa yang ditulis oleh Andrew Skinner dalam Introduction buku Smith, The Wealth of Nations (1776): “Smith never lost sight of the face that the study of economic phenomena involves the examination of one aspect of the activities of man in society” [vii] dengan paparan Karl Polanyi soal ‘disembedded economy’ dalam The Great Transformation (1944), sampai dengan salah satu phrase terkenal Margaret Thatcher: there’s no such thing as society (1980-an). Kita tidak masuk dalam bahasan ini, tetapi masuk yang disebut Adam Smith sebagai famous sect atau ‘sekte agung’.

Pergeseran dari ‘teosentris’ Abad Pertengahan ke ‘antroposentris’ era Renaissance serta berkembangnya deisme membuat ada ‘kekosongan pegangan moral’ dalam hidup bersama. Adam Smith kemudian mengisi dengan ajaran Stoa serta beberapa pemikir Yunani Kuno lainnya. Meski banyak yang mengatakan sebagai ekletik, salah satu yang kemudian mewujud dalam bahasan Smith adalah sekte agung (famous sect) seperti disebut di atas. Istilah famous sect ditulis Smith di The Theory of Moral Sentiments edisi ke-6 (terakhir).[viii]  Nampaknya Smith paham betul terhadap pendapat Machiavelli yang sudah beredar selama sekitar 200 tahun sampai dengan Moral Sentiments ditulis, yaitu ‘manusia berpikiran sederhana, dan begitu banyak dikuasai oleh kebutuhan mendesaknya’ seperti kutipan di atas. Maka Smith-pun membedakan antara ‘keutamaan’ dan ‘sekedar kepantasan’, antara virtue dan mere propriety.[ix]

 

 

 

 

 

 

Kita kadang menjumpai berita seorang pejabat publik mengundurkan diri karena hal-hal yang menurut kita: koq gitu saja mundur. Misal tertangkap kamera melanggar lampu lalu lintas, atau berujar yang tidak pantas soal masalah ke-publik-an, misalnya. Dalam kacamata mere propriety, mungkin kita bisa berujar: koq gitu saja mundur, tapi dalam kacamata virtue: koq gitu sih, misalnya. Artinya, dalam dunia ketika kepentingan diri dipersilahkan dikejar, dan toh nantinya kepentingan diri yang lain akan membatasi, tetap saja kemungkinan madness itu tidak akan hilang. Tetap saja mere propriety itu akan bisa ditabrak oleh madness itu. Nah, bagi sekelompok kecil yang mampu berkeutamaan, mampu mengunduh virtue ke dalam dirinya dan melaksanakannya, itulah sebenarnya yang akan diharapkan tampil sebagai pemimpin. Itulah mungkin bisa dikatakan, di negara-negara yang maju karena membuka lebar-lebar bagi warganya untuk mengejar kepentingan diri-nya, membuka kesempatan bagi ‘energi dahsyat’ yang ‘digendong’ dalam pengejaran kepentingan diri itu untuk terlibat dalam dinamika hidup bersama, kriteria pemimpin adalah seperti yang digambarkan oleh Adam Smith sebagai ‘sekte agung’ atau famous sect. *** (17-01-2019)

 

[i] https://twitter.com/saididu/status/1084748938417033216

[ii] Niccolo Machiavelli, The Prince, ed. Dan terj. Robert M Adams, Norton, ed. 2, 1992, hlm. 48 (Terjemahan diambil dari: Chris lowney, Heroic Leadership, KPG, 2005, hlm. 29)

[iii] JS Badudu, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Penerbit Gramedia, 2008, edisi 4, hlm. 498

[iv] Ibid, hlm. 190

[v] Ibid

[vi] Lihat juga, Bryan Caplan, The Myth of the Rational Voter. Why Democracies Choose Bad Politician, Princeton University Press, 2006

[vii] Adam Smith, The Theory of Moral Sentiments, Cambridge University Press, 2002, hlm. 13

[viii],Ibid, hlm. 3

[ix] Ibid, hlm. 31

Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Dalam Memilih (1)

 

gallery/adam smith

Adam Smith