www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

06-01-2019

Jules Bertaut dalam Napoleon in His Owns Words (1916) menuliskan ungkapan Napoleon sebagai berikut: “When small men attempt great enterprises, they always end by reducing them to the level of their mediocrity.” [i] Bagai seorang pujangga, kata-kata dari seseorang dengan pengalaman luas tentulah tidak sekedar asal meluncur saja. Kalau Napoleon mengatakan hal di atas tentu ia siap mempertanggung jawabkan kata-kata itu. Kalau misalnya Napoleon diundang sebagai pembicara utama misalnya, dan ditanya soal kutipan di atas atau yang lain, tentu jawaban tidak akan pernah diserahkan pada pembantu-pembantunya. Jauh sebelum Napoleon dalam tradisi Konfusius sudah dikenal istilah shangshangce, memilih pemimpin terbaik dari yang terbaik, memilih pemimpin dengan kaliber tertinggi.[ii] Napoleon hanya menunjukkan konsekuensi jika memilih pemimpin dengan kaliber rendah atau dalam kutipan di atas, small men.

Saat ini kita tidak perlu meminta penjelasan lebih lanjut pada Napoleon terhadap kata-katanya itu, cukup kita lihat dengan mata jernih apa yang terjadi di republik 4-5 tahun terakhir ini. Bagaimana terlalu sering kita melihat dengan tanpa tedeng aling-aling lagi beberapa cendekiawan melakukan salto mortale terkait dengan ke-cendekiawanan-nya. Atau lihat bagaimana pembantu-pembantu presiden kadang berujar yang sungguh tidak bermutu ketika rakyat menanyakan nasibnya. Atau bahkan, lihatlah lagi jejak digital ketika seorang presiden lempar-lempar bingkisan kepada rakyatnya dari mobil sedang berjalan! Cobalah anda cari melalui google search misalnya, kejadian sama seperti di atas di belahan dunia lain, anda dapat menemukan? Dan masih banyak lagi contoh.

Terakhir, soal penyampaian visi-misi calon presiden. Terkait dengan ini, kalau kita boleh berharap: jangan ajari anak-anak kami untuk jadi pengecut! Harapan ini terkait dengan ngototnya Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf bahwa penyampaian visi-misi tidak harus oleh calon, bisa diwakili oleh tim kampanye. Tim kampanye boleh beragumentasi sembari jumpalitan kanan-kiri untuk meyakinkan bahwa tak perlu calon yang menyampaikan visi-misi. Tetapi sekaligus juga tim kampanye itu tidak bisa mengatur bagaimana warga bersikap terkait hal ini. Dan sikap kami, itu adalah ke-pengecut-an, dan tidak lain-lainnya.  Maka sekali lagi: jangan ajari anak-anak kami untuk jadi pengecut!

Menurut Harold J. Laski, karakter sebuah negara hanya bisa diakses oleh warga negara melalui karakter pemerintahannya. Dan karakter sebuah pemerintahan bisa mulai dibayangkan oleh warga negara melalui visi misinya. Kalau seorang calon presiden misalnya, lebih memilih untuk mewakilkan penyampaian visi-misinya pada orang lain, selain masalah ke-pengecut-an seperti di atas, yang lebih penting lagi ia sebenarnya sedang ‘menghalangi’ warga negara untuk bisa meng-akses negaranya. Siapa yang akan terlibat dalam menentukan Menteri, Panglima TNI atau Kapolri, ikut menentukan calon anggota KPK, menyusun APBN dan banyak lagi itu? Jelas bukan siapapun itu di luar dirinya sebagai calon presiden, misalnya.

Jika ada calon yang tidak berani menyampaikan visi-misi secara langsung tanpa diwakilkan, jelas calon itu adalah calon kelas medioker saja. Tentu jika berani-pun bukan berarti terus ‘naik-kelas’ menjadi bukan lagi kelas medioker, tetapi jika tidak berani, sudah jelas tanpa melihat yang lain, dia kelas medioker. Dan mengingat ungkapan Napoleon di awal tulisan ini, terlalu banyak yang dipertaruhkan republik. Selama tahun-tahun terakhir ini, ‘suasana kebatinan’ kita sebagai bangsa rasanya sudah terbawa pada nuansa ke-medioker-an itu. Dalam hal ini, Napoleon benar. *** (06-01-2019)

 

[i] Jules Bertaut, Napoleon in His Owns Words, transl. Herbert Edward Law & Charles Lincoln Rhodes, A.C. McClurg & Co., 1916, hlm. 12

[ii] Lihat juga: https://www.pergerakankebangsaan.com/018-Shangshangce/, juga lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/033-Twit-dari-GM/

Dalam hal ini, Napoleon benar

 

gallery/brave