www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

05-01-2019

Ketika masih bekerja di rumah sakit sebagai tenaga medis, semakin terasa bahwa salah satu indikator utama kualitas pelayanan rumah sakit adalah pelayanan unit gawat daruratnya. Mungkin dari pemasukan (income) RS pelayanan UGD akan kalah dengan pemasukan dari kamar operasi dan tindakan lain, pemeriksaan penunjang maupun dari unit farmasi, tetapi UGD dapat memberikan first impression yang begitu membekas bagi pengguna jasa. Mulai dari penerimaan pasien gawat darurat –bahkan sebelumnya akses ke pintu UGD, triage, dan kecepatan serta ketepatan penanganan sampai pada kecepatan dan ketepatan pemeriksaan penunjangnya. Jika sudah stabil dan memerlukan rawat inap atau tindakan besar lainnya, kecepatan persiapan dan transfer pasien akan juga menentukan kualitas RS. Dari sisi pengguna jasa, apa sebenarnya yang paling mendasar akan dihayati oleh mereka? Segala kecepatan, ketepatan, pelaksanaan administrasinya dan lain-lainnya itu ujung-ujungnya adalah rasa aman (secure). Di luar ‘keinginan untuk mencari kesenangan’, rasa aman adalah salah satu kebutuhan yang begitu lekat dengan manusia.

Eric J. Hobsbwam dalam Nations and Nationalism since 1780 menuliskan “the idea of ‘the nation’, once extracted, like the mollusc, from the apparently hard shell of the ‘nation-state’, emerges in distinctly wobbly shape”. [i] Apa yang ditulis oleh Hobsbawm ini sedikit menggambarkan salah satu sebab mengapa ada atau berkembang situasi paradoks globalisasi. Atau juga berkembangnya sayap kanan radikal di Eropa. Apapun itu jika ditelisik lebih jauh lagi ada nuansa kuat yang berkembang, retaknya rasa aman. Abad XX sering disebut juga abad nasionalisme, dan itu mulai berkembang pada akhir abad XIX dan awal XX di tengah-tengah sekitar 2 milyar orang penduduk dunia, sekarang sudah sekitar 7 milyar. Fakta obyektif yang semestinya tidak bisa kita lupakan begitu saja. Itu baru soal jumlah orang. Belum masalah energi, dan yang langsung terkait dengan jumlah orang: makan, papan misalnya. Belum lagi soal pemanasan global di mana panas di permukaan bumi semakin meningkat seiring dengan meledaknya Revolusi Industri sekitar satu setengah abad lalu. Juga tak lupa bermacam ‘meledak’-nya bubble-bubble ekonomi, terlebih pasar keuangan. Ketika masih banyak yang ‘keteteran’ soal revolusi industri, kita sudah dibayangi revolusi digital yang begitu cepat dan luas dampaknya. Seakan kita sedang masuk di era ‘yang penuh dengan resiko’.

Manuel Castells dalam Prologue triloginya menulis: “In a world of global flows of wealth, power, and images, the search for identity, collective or individual, ascribed or constructed, becomes the fundamental source of social meaning...... [P]eople increasingly organize their meaning not around what they do but on the basis of what they are, or believe they are..... [O]ur society are increasingly structured around bipolar opposition between the Net and the self.” [ii] Pendapat Castells bahwa kita sedang terstruktur dalam ketegangan antara the Net dan the self membuat banyak konsekuensi, terutama akibat dari sisi gejolak the Net. Di sisi lain, seperti ditunjuk Castells soal masyarakat jaringan (network society) dimana masyarakat akan mengorganisir dirinya di sekitar jaringan. Di sekitar jaringan yang begitu dinamisnya.

Hanya manusia yang menduniakan dunianya, demikian menurut Heidegger. Manusia memang terlempar dalam dunia, tetapi dia tidak sekedar terlempar, atau istilah Heidegger Being-in-the-world. Dunianya manusia adalah dunia yang membuat dia kerasan untuk bermukim di dalamnya. Hipokognisi yang disinyalir oleh Levy terkait tingginya angka bunuh diri di Tahiti sekitar tahun 1970, sedikit banyak menunjukkan keretakkan dunianya dunia komunitas yang diteliti Levy itu. Levy menunjukkan tidak adanya kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan kehilangan sesuatu yang begitu berharga pada komunitas yang ditelitinya, selain hanya ada perasaan aneh dan menyakitkan saja. Dan ini –kondisi yang disebut Levy hipokognisi itu, yang kemudian ditengarai mendorong tingginya angka bunuh diri. Ke-hipokognisi-an dalam mengantisipasi kehilangan yang begitu berarti pada komunitas yang diteliti Levy itu seakan membuat dunianya menjadi tidak meng-kerasan-kan lagi. Dalam bahasan filsafat, ‘Ada’ adalah kategori yang mencakup semua kenyataan.[iii] Dan bagaimana kita mendekati Ada sebagai Fenomena? Menurut Heidegger, kita mesti membiarkan Ada “menampakkan diri pada dirinya sendiri.”[iv] Lebih lanjut Heidegger berpendapat bahwa Ada itu sendirilah yang menyingkapkan diri kepada manusia melalui bahasa. “Bahasa,” demikian katanya, “adalah rumah Ada dan manusia bermukim di dalam bahasa.”[v]

Hal-hal di atas ditulis untuk menunjukkan bagaimana rasa aman itu perlahan menyeruak dimanapun kita berada. Seringnya kita merasa aman begitu saja ketika ada di dekat petugas keamanan, atau ketika mendengar sebuah cerita yang secara tidak langsung menenteramkan hati. Atau sedang berada di antara teman-teman dekat kita. Tetapi situasi yang dialami komunitas di Haiti yang diteliti Levy seperti disebut di atas, bisa saja kita hadapi dalam berbagai bentuk dan kesempatan. Adanya situasi yang mana otoritas resmi misalnya tidak mampu lagi ‘membuat cerita’ (storytelling) yang menenteramkan, entah karena ada maksud tersembunyi atau misalnya, masalah kredibilitas. Di sinilah sebenarnya ‘kasak-kusuk’ atau rumor bisa mengambil ‘tempat strategis’-nya.

Didukung dengan pendapat banyak ahli, DiFonzo dan Bordia berpendapat bahwa kebanyakan orang berkeinginan untuk mengurangi ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety) dan mengembalikan kemampuan kontrol atas lingkungan sekitarnya.[vi] Bahasan mengenai bagaimana rumor menyebar sudah jauh sebelum era ‘hoax-hoéx’ seperti sekarang ini. Belgion (1939) seperti dikutip oleh DiFonzo menyatakan, “rumor depends upon uncertainty.” Sedang menurut Prasad (1935) berpendapat bahwa itu disebabkan situasi-situasi yang “an uncommon and unfamiliar type.” Sedang Festinger (1948) berpendapat bahwa “rumors pertain to issues that are shrouded in cognitive unclarity.” [vii] Menurut DiFonzo dan Bordia, rumor adalah “unverified and instrumentally relevant information statements in circulation that arise in contexts of ambiguity, danger, or potential threat and that function to help people make sense and manage risk.” [viii] Rumor berbeda dengan gosip dimana gosip menurut DiFonzo lebih merupakan perbincangan sosial mengenai individu.[ix]

Politik dalam banyak hal tidak bisa lepas dari rumor. Dan menyebarnya rumor tersebut bisa dahsyat akibatnya jika tidak dikelola dengan cerdas. Contoh ketika merebak rumor Obama dilahirkan bukan di Amerika. Segera tim sukses Obama meng-counter dengan bermacam bukti otentik dan kesaksian bahwa Obawa lahir di Hawaii, salah satu negara bagian AS. Sebelum pihak Obama mengklarifikasi rumor tersebut, 25% meragukan kelahiran Obama benar-benar di AS. Setelah ada klarifikasi, yang meragukan tinggal 13% menurut survei.[x] Contoh lain misalnya, ketika seorang kandidat ditengarai memakai konsultan asing, segera itu menjadi rumor yang cepat menyebar. Karena itu bukanlah hal melanggar hukum tetapi bisa merusak misal terkait dengan nasionalisme, kasak-kusuk atau rumor itupun segera diakhiri dengan cara membuka diri bahwa memang konsultan asing itu dipakai jasanya. Dengan dibukanya fakta itu menjadi terang-benderang maka telah menjadi fakta yang sudah diverifikasi, dan bukan lagi rumor. Dalam setiap pemilihan, rumor terkait dengan kecurangan-pun sering mengiringi pelaksanaannya. Apa yang kemudian akan dilakukan? Salah satunya adalah menghentikan rumor, dan tentu sebenarnya bukanlah potensi kecurangan itu sendiri yang sedang dihentikan. Caranya? Salah satunya mirip-mirip dengan penanganan kasus ‘konsultan asing’ di atas. *** (05-01-2019)

 

[i] Eric J. Hobsbawm, Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality, Cambridge University Press, 1992, 2nd ed., hlm. 190

[ii] Manuel Castells, The Rise of the Network Society, Blackwell Publisher, 2001, 2nd ed., hlm. 3

[iii] F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, KPG, 2016, cet. 3, hlm. 30

[iv] Ibid, hlm. 31

[v] Ibid, hlm. 47-48

[vi] Nicholas DiFonzo, Prashant Bordia, Rumor Psychology, American Psycological Association, 2007, 71-72

[vii] Ibid, hlm. 72

[viii] Ibid, hlm. 13

[ix] Ibid, hlm. 19

[x] https://en.wikipedia.org/wiki/Barack_Obama_citizenship_conspiracy_theories

The Power of Kasak-kusuk

 

gallery/rumor