www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

27-11-2018

(Bahan bacaan utama tulisan ini adalah Disiplin Hasrat dan Kerasnya Moralitas Pemimpin. Pengantar Filosofis-Fenomenologis ke-dalam Etika Politik Kepemimpinan dan Kenegaraan, oleh Ito Prajna-Nugroho, dalam Epilog buku Satunya Kata dan Tindakan. Ryamizard Ryacudu, Kepemimpinan dan Kita (Greg. Sudargo), Penerbit Sanggar Pembasisan Pancasila, 2013. Tanggung jawab tulisan tetap ada di penulis, Greg)

Siapa tidak ingin hidup bersama yang beradab? Siapa tidak ingin keadaban publik berkembang dalam hidup bersama? Pertanyaan yang semestinya tidak usah diajukan. Masalahnya adalah, bagaimana ketika keadaban publik ini dibicarakan dalam satu lapangan dengan ‘Sang Penguasa’?

Jasa besar Machiavelli adalah menunjukkan kepada kita realitas senyatanya -tanpa tèdèng aling-aling. Lihatlah kesimpulan M. Sastrapratedja & Frans. M. Parera terkait dengan inti permainan politik dalam negri yang ingin ditunjukkan Machiavelli, terutama dalam Sang Penguasa: “Bahwa rakyat banyak gampang dibohongi dan dimanipulasi dukungannya lewat penampilan-penampilan sang penguasa secara menarik dan persuasif; rakyat hanya membutuhkan ilusi-ilusi yang kuat, dan sangat mudah diyakinkan dengan apa yang mereka lihat dan saksikan secara langsung.”[i] “Sang Penguasa’ dalam judul tulisan adalah untuk mempertegas maksud tulisan, ketika keadaban publik berhadapan dengan realitas senyatanya seperti ditunjuk oleh Machiavelli dalam buku Sang Penguasa (The Prince).

“Leadership, it may be said, is really what makes the world go round,” demikian ditulis Arthur M. Schlesinger, Jr. dalam Foreword buku Angela Merkel karangan Clifford W. Mills (2008). Kesimpulan yang tidak asal-asal-an saja jika kita mengingat pendapat Arnold J. Toynbee terkait dengan minoritas kreatif. Setiap orang tentu punya potensi berkembang menjadi seorang pemimpin dalam berbagai tingkatannya, tetapi apa sebenarnya seorang pemimpin ‘yang aktual’ itu? Pemimpin adalah seorang ‘perenang yang tangguh’ dalam ruang in-between, ruang di antara apa yang semestinya dan yang senyatanya. Pemimpin yang berdiri antara keinginan bersama untuk mewujudkan keadaban publik misalnya, dengan segala gejolak hasrat yang terus menggempur.

Atau pemimpin yang berdiri di antara ruang dimana amanat konstitusi memerintahkan untuk (1) melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan bangsa, (4) ikut aktif dalam ketertiban dunia, dengan segala gejolak hasrat akan uang, kekuasaan, nama besar, dan lain-lain. Dahsyatnya gejolak hasrat ini begitu besar sehingga perlu ‘latihan’ panjang dan berat sehingga seseorang bisa muncul sebagai seorang pemimpin. Otoritarianisme misalnya, adalah dahsyatnya sebuah hasrat yang tak terkendali. Ketika sebuah pertanyaan terlempar terkait dengan hal ke-otoriter-an dan dijawab seakan itu masalah penampilan[ii], pantaskan orang ini kita anggap seorang pemimpin? Orang itu memang aslinya kurang cerdas, atau diajari oleh ‘dalang’-nya tentang Machiavelli seperti kesimpulan Sastrapratedja di atas? Kualitas pemimpin seperti ini pastilah membuat ragu apakah dia bisa memajukan keadaban publik misalnya. Mengapa? Karena ketika ia di ruang in-between, nampak begitu gagapnya. Kalau ia seorang pemimpin sebuah negara, ia sedang berdiri di antara amanat konstitusi dengan dahsyatnya gejolak hasrat. Masalah penampilan? Pecas ndahé dab.

Di banyak negara-bangsa, banyak pemimpin yang berhasil berdiri di ruang in-between dengan segala kompetensi dan martabatnya. Dia tidak begitu saja terperosok tenggelam dalam realitas seperti digambarkan Machiavelli, demi cita-cita mengembangkan hidup bersama yang lebih beradab. Dia tidak kemudian tenggelam dalam dunia ‘tipu-tipu’, dunia ‘nggedebus’ vulgar, demi hasrat untuk berkuasa. Tentu kualitas seperti itu tidak berdiri di ruang vakum. Tetapi justru karena ke-tidak-vakum-an itu, kadang perlu juga seorang pendobrak. Ketika rakyat kebanyakan masih banyak yang seperti di gambarkan oleh Machiavelli, misal: mudah dibohongi, dia berusaha keras untuk tidak bohong. Cobalah lihat Anies Baswedan misalnya, ketika politik dengan tidak-tahu-batas disesaki oleh berbagai kebohongan, Anies bersusah-payah berusaha mewujudkan janji kampanye. Pada titik tertentu, apa yang dimulai oleh Anies ini akan merubah rasa ke-tidak-vakum-an itu. Maka jika kita serius bicara soal keadaban publik, salah satunya adalah fokus men-delete pemimpin yang sukanya nggedebus itu melalui jalan elektoral. Garbage-in, garbage out, dan pemimpin yang sukanya nggedebus itu jelaslah garbage. *** (27-11-2018)

 

[i] Sastrapratedja, Frans. M. Parera, Kata Pengantar, Suatu Alternatif Kaidah Etika Politik,  dalam Machiavelli, Sang Penguasa, hlm. xxix

[ii] Dalam pidato Rapimnas Partai Demokrat di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Sabtu 10 Maret 2018, Jokowi mengatakan: “Kenapa saya dibilang otoriter? Saya ini tidak ada potongan sekali pemimpin yang otoriter,” ucap Jokowi. “Penampilan saya tidak sangar. Kemana-mana saya selalu tersenyum. Saya ini seorang demokrat.” http://www.teropongsenayan.com/83629-dituduh-otoriter-jokowi-penampilan-saya-tidak-sangar-selalu-tersenyum

Keadaban Publik dan 'Sang Penguasa'