www.pergerakankebangsaaan.com

gallery/eye

22-11-2018

Bagi Fernando Henrique Cardoso, negara dapat dibedakan dari rejim. Sedangkan rejim bisa merupakan rejim primer dan rejim sekunder.[i] Jika kita telisik lebih dalam apa yang dimaksud Cardoso sebagai rejim sekunder itu bisa kita lihat adalah sebuah part yang moment sifatnya. Salah satu struktur dasar dalam Fenomenologi adalah whole dan parts. Parts bisa berupa pieces: independent parts, atau moments: non-independent parts.

Dahan pohon adalah part dari wholes sebuah pohon. Tetapi dahan itu bisa kita lepas dari pohon dan tetap bisa kita hayati secara terpisah. Dahan tersebut adalah pieces, independent parts. Lain lagi jika kita bicara warna merah, misalnya. Meski ada deskripsi terkait dengan panjang gelombangnya misalnya, warna merah hanya mungkin kita hayati ketika ia ‘menempel’ pada material tertentu. Jadi bisa dikatakan, warna merah itu adalah moment, non-independent parts. Demikian juga ketika kita bicara ideologi, secanggih apapun deskripsinya dalam buku kecil anggaran dasar sebuah partai misalnya, ia hanya bisa dihayati dari perilaku anggota-anggota partai tersebut, atau dari kebijakan-kebijakan partai. Demikian juga terkait dengan nilai-nilai yang ada dalam sila-sila Pancasila seperti tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, alinea-4, tetaplah abstrak sifatnya. Dan founding fathers sangatlah jitu menulisnya di paragraf-4 Pembukaan UUD 1945, menjadi satu paragraf dengan tugas pemerintah negara Indonesia yang dibentuk. Nilai-nilai abstrak dalam sila-sila itu akan menjadi konkret dalam perilaku pemerintah negara Indonesia beserta seluruh kebijakan-kebijakannya. Perilaku dan kebijakan untuk 4 hal mengapa pemerintah negara Indonesia dibentuk, yaitu (1) melindungi bangsa dan tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut aktif dalam ketertiban dunia. Pancasila di tangan rakyat adalah pertama-tama untuk melakukan kontrol pada perilaku dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan shortcut untuk itu adalah rasa keadilan. Dan bukannya pemerintah yang melakukan kontrol pada rakyat apakah sudah melaksanakan Pancasila atau belum. Dan juga verbalisme “saya Pancasila, saya Indonesia” bagi pejabat negara, bahkan seorang presiden-pun tidaklah perlu atau mendesak didengung-dengungkan. Kenapa? Sekali lagi, seperti warna merah yang hanya bisa dihayati ketika menempel pada material tertentu, nilai-nilai Pancasila itupun hanya bisa dihayati rakyat dari perilaku dan kebijakan-kebijakan pemerintah negara Indonesia, persis seperti yang disepakati founding fathers dan dapat dilihat di Pembukaan UUD 1945. Bagi rakyat, mengikuti kebijakan-kebijakan pemerintah sebenarnya juga telah melaksanakan Pancasila. Jika kebijakan-kebijakan atau perilaku pemerintah negara Indonesia dirasa rakyat telah melenceng dari Pancasila, dengan pertama-tama alarm rasa keadilan-nya, rakyat bisa menggunakan Pancasila sebagai ‘ideologi kritis’-nya.

Kembali kepada rejim dan fase stabilisasinya. Stabil dari asal katanya bisa juga berarti berdiri, tegak berdiri. Jadi fase stabilisasi berarti sebuah tahapan menuju tegak berdiri, sulit digoyang-goyang lagi. Anies Baswedan jika kita cermati bersama, sedang dalam proses ‘stabilisasi rejim demokratik’ dengan bersusah-payah mewujudkan janji-janji kampanye, dan juga respon demokratiknya ketika menghadapi masalah, seperti contoh terakhir, kasus pembebasan lahan jalan MHT yang terletak di Kampung Baru RT 011 dan 016 RW 07 Kel. Kayu Putih, Kec. Pulogadung, Jakarta Timur akhir-akhir ini. Kasus yang muncul sebagai akibat terbitnya SK Gubernur No. 1323 tahun 2017 membuat warga setempat melakukan demo di depan gubernuran. Siang di-demo, malamnya Anis sebagai Gubernur DKI mendatangi warga untuk menggelar dialog. Perilaku seperti inilah yang akan dihayati warga ketika bicara demokrasi. Dan tentu nantinya, kebijakan pemprov yang mengikuti. Bukannya perilaku main tinju, naik chopper, atau apalagi lempar-lempar bingkisan ke rakyat dari dalam mobil yang sedang berjalan! Jika apa yang dimulai oleh Anies ini konsisten dijalankan selama periode menjabat, bisa diharapkan ‘stabilisasi rejim demokratik’ in-concreto ini akan tidak mudah digoyah ketika satu saat nanti ada yang datang dengan segala kebohongannya.

Bagaimana jika demokrasi sebagai rejim sekunder tetap tinggal dalam dunia absractum tanpa pernah melekat erat dalam perilaku dan kebijakan karena yang sebenarnya sebagai rejim primer-nya ternyata adalah rejim oligarki-pemburu rente? Tentu jalan ‘fase stabilisasi rejim’-nya akan mengambil jalan lain. Demikian juga nasib demokrasi. Mari kita lihat dan cermati bersama. *** (22-11-2018)

 

[i] Lihat: https://www.pergerakankebangsaan.com/161-Dramaturgi-Pakta-Dominasi/

Rejim dan Fase Stabilisasinya